Lohh gimana dan bagaimana ? Entah gimana rasanya koq tetiba Covid 19 melanda Indonesia. Hancurlah harapan kita semua di semua lini tak berbatas. sudah beberapa kali mudik aku dan keluargaku tak hadir secara utuh dan mungkin terhitung dari 2020 ya kalau dari Covid mulai mendera Indonesia. Sebelum covid 19 mendera-pun sesungguhnya aku jarang pulang juga ke tanah leluhur di Jawa.Â
Sebutan kata Jawa sesungguhnya sangat umum karena biasanya orang Jakarta-pun menyebut itu ketika batas lintas melebihi Bekasi pun arah Pantura (Pantai Utara) juga jawa. Padahal Jakarta termasuk bagian pulau Jawa. Merujuk kata Jawa bagi orang Sumatera ya Jakarta dan yang ada di pulau Jawa adalah bagian pulau Jawa.
Ah, bagiku Jawa ya luas dan sangat luas. Bahkan Jawa sendiri memiliki imej ada di Suriname. Negeri yang jauh terdampar dari Indonesia namun memiliki kaitan darah segar dan ikatan histori kuat dengan Indonesia ( Baca ; pulau Jawa )
Entah bisa sesombong apakah me-nafikan bahwa aku adalah bagian dari Jawa sedangkan ayahku adalah asli dari Aceh pulau Sumatera namun ibuku adalah Jawa asli dari Purworejo, Bagelen Desa Krendetan Kampung Sarangan. Â
Jadi kepiye ? heheheheh aku mau menjiplak ungkapan umum khasnya "wong Jowo". ya tetaplah bagian darahku ada bagian Jawa-nya. Sekalipun ayahku asli Aceh tak mengurangi rasa semangat untuk berbaur atas rasa yang memang sudah tercampur sejak menjadikan emak-ku sebagai istrinya.Â
Kondisi ini ya sudah jelas menjadikan tanah Jawa adalah bagian dari hidupnya. Tak usah ditanya lagi, kalau ndak percaya coba saja tanyakan ke ayahku jika ada agenda ke Jawa alias ke Purworejo Jawa Tengah.
Pandangan bergeser kearah sepupuku yang tentunya juga beragam darah dan latar belakang orang tua yang tak sama meskipun ada aliran darah yang satu asal yaitu Purworejo. Ada yang bercampur dengan darah Banten, Lampung, Jogjakarta, Solo, Cirebon, Palembang, Grobogan, Indramayu, Bogor bahkan Manado maupun Makassar dan lain-lain. Semuanya ternyata kami terangkum dalam satu darah leluhur kami Purworejo Jawa Tengah, sebut saja Trah Mbah Ngadiso.
Aku bahkan bertanya dalam hati mengapa beberapa hati tak miliki rasa semangat itu ketika menjadi bagian keluarga Jawa dan ada panggilan batin bahwa waktunya hasrat leluhur memanggil untuk segera pulang ? ya itu hanya dugaan hati saja dan tak sepenuhnya benar juga.
Analogi ini jelas disebut kebekuan hati atau ketakutan dalam membenamkan rasa yang sesungguhnya. Terpulang dari semua jawaban itu ya kita semestinya memahami semua kendala yang ada dan berlangsung saat ini.Â
Tentu Covid 19 menjadikan kita terus waspada dan rasa mencekam hingga tak sedepakpun bisa mengubah keyakinan kita bersilaturahmi yang terkendala.Â
Aku memahaminya sebagai bagian dari ketakutan jiwa yang mencekam atau bagian "self defense"Â aku adalah aku. Enyahlah covid 19 dan mudahkanlah para saudaraku bersilaturahmi. Begitu gumamku dalam hati yang beriak namun tak terdengar.
Jangan Pisahkan kami dalam rangkaian ataupun rekatan yang sudah terbentuk dari yang kuasa. Berapa kata terurai dalam setiap pertemuan tak meredamkan arti gejolak darah yang ingin bertemu dan bercerita. Waktu adalah rekaman momen tak terelakkan dan merugilah ketika momen itu terabaikan. Bersedihlah wahai kamu yang tak tenggelam dalam larut senggama jiwa dalam ikatan batin ini (Baca; Silaturahmi).Â
Pergilah dengan keyakinan kamu bila momen itu bisa berulang dan tiaraplah atas pendirian yang tegar jika mampu berdiri sendiri. Kembali lagi "Hey aku pulang ke tanah leluhur, lantas kamu ? " Kuharapkan kamu ada di setiap waktu ketika kami merenung bahwa kami adalah bersaudara dan sepenanggungan dalam ikatan darah yang memang tercipta, darah Mbah Ngadiso sang leluhur bagi kami pewaris keturunannya. Sampai jumpa dalam keabadian yang terekam dalam rajutan sejarah yang belum tercipta sebelumnya dalam Trah Mbah Ngadiso 2021.
(Isk)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H