Banyak kalangan mulai membicarakan Isu pangan dunia. Banyak pihak mengingatkan kemungkinan krisis pangan yang bisa menimpa sejumlah negara, termasuk Indonesia. Bagaimana politik ketahanan pangan kita diformulasikan?
Ada yang salah dalam politik ketahanan pangan kita tampaknya. Khususnya dalam struktur pasar pertanian. Komoditi pangan yang menjadi hajat hidup orang banyak, sering mengalami kelangkaan dan tentu saja harganya mahal. Sementara pada saat musim panen, harga di tingkat petani sangat murah. Petani hanya menikmati marjin terkecil dalam mata rantai distribusi produk pertanan. Sayangnya, pemerintah tidak memiliki inisiatif politik untuk merubah struktur pasar yang tidak sehat ini dan selalu menyelesaikan dengan ad hoc melalui subsidi dan intensive.
Kita pernah mengalami krisis kelangkaan kedelai dan minyak goreng di pasaran. Pedagang dan masyarakat menjerit, sampai kini pemerintah belum memiliki formulasi yang tepat bagaimana mengatasi masalah ini selain dengan kebijakan operasi pasar yang sampai kini efektifitasnya belum kelihatan. Minyak goreng masih saja susah dicari di pasaran dan harganya tak kunjung normal.
Lagi-lagi, masalah ini terkait dengan masalah ketahanan pangan. Struktur pasar produk pertanian, harus segera dipikirkan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional.
Sudah bukan rahasia lagi, selama ini struktur pasar pangan memang ada yang bermasalah. Kenaikan bahan komoditi pangan pada tingkat pasar, tidak dengan sendirinya memiliki implikasi terhadap kesejahteraan petani. Petani hanya mendapatkan margin terkecil dalam rantai distribusi.
Sebaliknya, harga produk pertanian ditentukan oleh segelintir pembeli. Terjadi praktik oligopsoni pada tingkat hulu. Para pembeli membeli produk hasil kepada petani saat panen. Petani tidak memiliki daya tawar untuk menentukan harga dan menjadi wajar kemudian apabila harga hanya ditentukan oleh pembeli.
Pada tingkat konsumen, produk hasil pertanian juga mengalami hal yang sama. Produk untuk konsumen hanya dilayani oleh hanya beberapa distributor besar. Oleh karena itu, menjadi tidak terhindarkan apabila pada bagian hilir pasar produk pertanian bersikap oligopolistik.
*****
Tidak menjadi rahasia lagi, apabila mata rantai pasar selama ini dikuasai oleh segelintir pembeli. Para pembeli yang jumlah sedikit itu, tentu saja akan dengan leluasa menentukan harga produk komoditi pertanian kepada petani pada musim panen. Situasi seperti ini sudah berjalan sangat lama dan menjadi wajar pula apabila tingkat kesejahteraan petani, semakin lama semakin menurun. Sebab petani hanya memikmati margin keuntungan yang sedikit bahkan tidak jarang, hanya impas saja untuk menutup ongkos produksinya.
Praktik oligopsoni seperti ini menandakan bahwa ada yang salah dalam mata rantai pasar pertanian. Mata rantai pasar komoditi pertanian selama ini memang hanya dikuasai oleh segelintir pengusaha besar. Demikian juga pada produksi hasil pertanian, produsen dan distributor kepada konsumen, juga hanya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar. Semua produk pertanan diserap oleh industri dan pararitel.
Dengan struktur pasar seperti ini, menjadi wajar dan niscaya adanya jika terjadi situasi seperti sekarang ini. Pada saat panen harga murah dan pada saat paceklik, harga mahal dan langka di pasaran.
Sudah pasti, selagi struktur pasar produk pertanian seperti sekarang ini, maka tidak aka ada perubahan. Masalah pangan dan harga-harga komoditi pertanian lainnya, hanya akan ditentukan oleh segelintir perusahaan besar yang jumlahnya segelintir.
Di sini, menjadi penting untuk memperkuat lembaga pemasaran produk-produk pertanian. Lembaga ini harus diperkuat agar mampu menjalan fungsi dan peran sebagai penyangga kesetabilan distribusi dan harga pangan. Dengan demikian, harga produk pertanian tidak bisa dengan leluasa ditentukan oleh segelintir pengusaha. Optimalisasi lembaga pemasaran, dengan sendirinya akan mencegah praktik oligopolitik sehingga struktur pasar produk pertanian bisa lebih adil.
*****
Sayangnya, meski masalah demikian jelas, akan tetapi tidak ada kebijakan politik yang tegas dan jelas mengenai masalah struktur pasar produk pertanian yang pincang dan tidak adil ini.
Kebijakan menteri pertanian hanya terpokus kepada masalah intensive dan proteksi sebagai cara untuk menyelesaikan masalah kelangkaan produk pertanian ini. Kelangkaan kedelai dan kelangkaan minyok goreng misalnya, memang akarnya berpangkal dari menurunnya produksi pertanian. Petani enggan dan ogah untuk menanam kedelai karena hasilnya tidak menguntungkan dilihat dari sudut apapun.
Sepintas memang dengan insentive dan subsidi akan menolong petani untuk bisa meningkatkan margin keuntungannya. Akan tetapi apabila dilihat lebih jauh, yang dibutuhkan bukan hanya kebijakan intensive dan atau subsidi semata. Jangan harap pula dengan kebijakan ini maka dengan sendirinya akan mendongkrak produk pertanian. Sebab subsidi satu masalah yang bisa menyelesaikan persoalan yang melilit petani sekarang ini.
Masalah yang terbesar yang kemudian berimplikasi kepada menurunnya produksi pertanian adalah masalah struktur pasar yang pincang. Harga hanya ditentukan oleh segelintir pengusaha besar, sementara petani hanya menikmati margin keuntungan yang tipis dan tak jarang hanya impas saja untuk menutup ongkos produksi.
Jadi memang diperlukan kebijakan yang radikal. Diperlukan keberanian untuk merombak struktur pasar pincang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H