Disini memang ditentukan kearifan dan cara pandang yang dingin melihat situasi. Saluran politik, tentu sangat mudah dan terbuka untuk menuntut akomodasi politik. Tumbuhnya berbagai Ormas yang berbasis pada primordial, hendaknya ditempatkan hanya sebagai alat bukan tujuan. Tumbuhnya ormas seperti ini, suatu yang wajar yang biasanya tentative. Yang menjadi persoalan adalah ketika organisasi itu menjadi tujuan dan biasanya, melupakan kepada gairah awal yang melataribelakangi pendiriannya.
Jamaknya, organisasi seperti itu bersifat ad hoc dan berfungsi sebagai pressuare groups untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan politik. Tentu dengan perjuangan politik seperti ini, membutuhkan keuletan dan kegigihan dalam mengorganisir massa. Lobby dan negosiasi politik, menjadi garapan yang harus terus menerus dilakukan.
Serangkaian kegiatan yang membangun aliansi strategis jangka panjang, harus dilakukan secara intens. Di sini, tentunya membutuhkan komunikasi politik yang santun dan berorientasi kepada tujuan perubahan kebijakan politik yang menjamin terakomodasinya kepentingan kelompoknya.
Tentu saja, hal itu bukan sutau yang mudah. Tidak ada kebijakan politik yang terjadi hanya karena sim salam bim atau abra kadabra seperti yang terjadi dalam negeri dongeng.
Salah satu masalah yang terjadi sejak reformasi politik negeri ini adalah maraknya organisasi masyarakat berbasis agama dan suku, yang dalam mengartikulasikan aspirasi politiknya secara instant. Untuk mendesakkan kepentingan social ekonomi misalnya, lebih vocal dilakukan melalui aksi jalan dan agak enggan melalui mekanisme politik yang berlaku.
Demikian juga dalam menghadapi masalah pelanggaran moral, mereka langsung mengambil alih peran penegak hukum dengan melakukan tindakan langsung ke lapangan. Tindakan seperti ini, tentu saja, meskipun untuk tujuan mulia tetapi jelas sudah melampaui batas wewenangnya. Selain itu, juga potensial memicu terjadinya konflik horizontal dan salah-salah bisa menimbulkan anarkhi. Tidak bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi jika setiap kelompok masyarakat atas nama penegakan hukum, melakukan tindakan penegakan hukum sendiri.
Nah, untuk tidak memicunya ketegangan. Paling tidak ada dua pihak yang berkompeten yang harus tanggap. Pertama, pembuat kebijakan harus arif dan bijaksana dalam melihat realitas social politik di mana banyak kelompok masyarakat yang secara sistematis teraboriginisasi. Kedua, penegak hukum juga harus tanggap dan siap menindak setiap pelanggaran hukum yang terjadi. Lebih-lebih yang terkait dengan perjudian dan susila. Ya semua gambang diucapkan tapi tentu pelik dalam penerapan. Pada sisi lain, juga harus tegas jika terjadi tindakan aksi sepihak. Jika tidak, maka kewibawaan negara tidak ada. Tak ubanhya stateless saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H