Mohon tunggu...
Ellyasa KH Darwis
Ellyasa KH Darwis Mohon Tunggu... -

Gemar memancing, memasak dan jalan-jalan. Tinggal di pinggiran kota Bekasi. Menulis di Kompasiana sekadar buat berbagi apa yang telah dilihat dan dirasakan. Blognya bisa diklik di sini atau yang .ini. Salam...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bung Ruhut, Konstitusi Itu Bukan Kunci Inggris

18 Agustus 2010   08:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:55 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh banyak kalangan politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, sedang berperan sebagai pemantik isu soal perpanjangan masa jabatan Presiden. Jabatan presiden tidak perlu dibatasi hanya dua periode, akan tetapi lebih. Bisa tiga kali dst. Banyak kalangan melihat tentu Bang Poltak, Raja Minyak dari Medan itu, sedang menyampaikan pesan dari Presiden SBY.

Jika betul demikian adanya, maka konstitusi kita dengan melalui mekanisme yang akan akan diubah untuk kepentingan yang sangat pribadi, yaitu kepentingan agar Presiden SBY bisa mencalonkan kembali setelah periode ke dua ini usai. Periode ketiga, tentu tidak mungkin karena konstitusi kita membatasi seseorang bisa menjabat sebagai presiden hanya dua kali. Dengan demikian, yang sedang dilakukan politisi Partai Demokrat itu adalah mengukur dukungan untuk melakukan amandemen UUD 45 lagi. Jika demikian adanya, maka konstitusi kita akan disesuaikan denan kepentingan dan hasrat politik yang sedang berkuasa.

Dua Cara Pandang.

Ada dua aliran dalam sejarah dalam memandang tokoh. Aliran pertama, yang menempatkan tokoh sebagai segala-galanya. Tokoh sebagai figur sentral yang karena ketokohannya, ia mampu merubah sejarah. Cara pandang seperti ini, menempatkan tokoh atau pemimpin tak ubahnya sebagai seorang ratu adil yang karena dirinya perubahan terjadi. Oleh karena itu, tokoh kalau perlu diberi kesempatan seumur hidupnya untuk tampil dan mengaktualisasikan diri dalam kancah politik. Corak pemimpin seperti ini, memang lazim dan berkembang di negara-negara diktator. Tak ada pembatasan masa jabatan, selagi masih ingin dan kuat hasrat politiknya, maka akan terus dibuatkan jalan untuk tetap bertengger dalam singasananya.

Banyak model yang dikemas. Dari kepemimpinan seumur hidup layaknya raja-raja, atau melalui rekayasa sedemikian rupa sehingga tetap dianggap tidak menyimpang dalam koridor demokrasi. Ingat jaman Orde Baru atau Orde Lama, jika dalam Orde Baru melalui mekanisme Pemilu, maka pada era Orde Lama, melalui mekanisme pengangkatan oleh MPRS.

Cara pandang kedua, menempatkan tokoh adalah sebagai produk sejarah. Ia bisa memainkan kepemimpinannya karena situasi sejarah yang memungkinkan. Cara pandang seperti ini, tentu saja, menempatkan pemimpin sebagai sebuah produk sejarah dan penilaian terhadap dirinya pun mestilah ditempatkan dalam konteks setting sosial, budaya dan politik yang ada. Spiritnya adalah bahwa setiap jaman memiliki masalahnya sendiri, dan oleh karena itu, maka tidak ada tokoh yang mampu menyelesaikan semua persoalan yang tentu saja makin hari makin pelik. Dengan demikian, kontrak politik pun harus dilakukan dengan pemilih dengan cara salah satunya membatasi jabatan pemimpin. Spirit lainnya adalah, agar suksesi kekuasaan mulus, tidak ada pihak-pihak yang berurat dan berakar menguasai sumberdaya dan jaringan politik.

Dengan cara pandang di atas, maka mudah ditebak ketika politisi Partai Demokrat Ruhut Sitompul soal amandemen UUD 1945 yang memungkinkan masa jabatan Presiden lebih dari dua periode, mudah ditebak tujuannya. Saya sendiri sudah mendengar pasa musim Sidang MPR tahun lalu adanya gerakan ini, satu gerakan yang yang menginginkan amandemen UUD 1945 yang memungkinkan Presiden menjabat lebih dari dua periode sejak beberapa bulan silam.

Alasan yang dikemukan adalah bahwa sepuluh tahun ke depan SBY masih produktif. Tentu saja ini alasan yang teramat disayangkan, pertama, kita punya pengalaman dalam pembangunan politik selama era Orde Baru yang bangunan konstitusi sangat memungkinkan melanggengkan kekuasaan pada diri seorang Suharto. Akibatnya, kekuasaan menjadi memusat dalam setiap tahapan dan proses prolitik terjadi proses elitisasi dimana lebih mementingkan kelanggengan kekuasaan dari pada kepentingan masyarakat.

Kedua, jika alasan ini akan dikemukakan, maka pertanyaannya konstitusi kita tak ubahnya seperti kunci Inggris yang mudah disetel atau disesuaikan dengan elit politik yang sedang duduk dalam kancah kekuasaan.

Bung Ruhut, Konstutusi itu bukan kunci Inggris.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun