Tapi kalau buat acara seremoni, blangkon masih sangat bisa dikenakan. Baret saja kalau warnanya terlalu cerah atau mencolok, biasanya hanya akan dipakai pas acara seremoni resmi saja, sedangkan pada saat bertempur akan memakai uniform yang berbeda.
Apabila yang dikenakan blangkon, bukan berarti Jawanisasi. Blangkon sendiri telah banyak menjadi bagian dari budaya masyarakat non-Jawa, seperti Sunda, Bali, dan Madura.
Pewarnaannya pun bisa disesuaikan dengan warna baret sebelumnya, seperti blangkon merah darah untuk Kopassus, blangkon hijau untuk Kostrad, blangkon Jingga untuk Pashkhas, dan blangkon Orange untuk Marinir.
Di luar blangkon ada juga ikat kepala, yang menjadi ciri bersama budaya mayoritas penduduk se Nusantara. Nah, bisa saja ikat kepalanya juga dimodifikasi supaya cocok dan praktis dipakai dalam seremoni kemiliteran.
Coba dibayangkan jika ada seremoni tentara Indonesia, yang memakai ikat kepala yang mirip dengan Sultan Hasanudin, Sultan Nuku, atau Sisingamangaraja XII. Dijamin prajurit itu akan tampak lebih gagah dan khas Nusantara banget, berbeda sekali dengan mengenakan baret, yang jadi hampir tidak ada bedanya dengan atribut tentara Asia Tenggara lainnya. Â
Itu baru penutup kepala, untuk seragam baju dan celana, masih bisa meniru baju adat yang ada, atau tetap berseragam militer yang biasa dipakai saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H