Mohon tunggu...
Rizky Purwantoro S
Rizky Purwantoro S Mohon Tunggu... Lainnya - pegawai biasa

Membaca, mengkhayal dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Asal Muasal Blangkon dan Coba Seandainya Blangkon Itu Dipakai Tentara Indonesia Menggantikan Baret

5 Desember 2022   09:13 Diperbarui: 5 Desember 2022   09:24 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Blangkon, sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari budaya Jawa. Selain Jawa, beberapa suku lain seperti Sunda, Madura, dan Bali nyatanya juga mengenal blangkon.

Awalnya blangkon itu merupakan ikat kepala yang familiar dikenakan kebanyakan penduduk Nusantara pada masa dahulu.

Modifikasi blangkon terjadi pada saat Belanda sudah agak lama menguasai pulau Jawa. Agar lebih praktis, blangkon dijahit sehingga membuatnya lebih permanen dan dapat langsung dipakai.

Tadinya penulis sempat mengira kalau blangkon itu asalnya dari sorban, karena pengaruh Walisongo yang konon sering berbusana ala Timur Tengah, termasuk sorbannya, sehingga lambat laun menginspirasi para bangsawan dan masyarakat luas untuk menirunya.

Mungkin kedua-duanya benar, tradisi ikat kepala yang sudah lama ada kemudian terpengaruh kehadiran sorban, maka lahirlah blangkon.

Atau kalau dilihat dari era permulaan blangkon mulai dijahit pada zaman Belanda, bisa jadi juga terpapar bentuk topi yang biasa dipakai orang Belanda. Melihat topi yang penggunaannya tidak ribet karena tidak perlu ada proses rumit mengikatnya, mendorong orang Jawa untuk mengadopsinya ke dalam blangkon.

Bentuk blangkon pun ada banyak variasinya di tiap daerah, menyesuaikan dengan kebiasaan dan filosofis masyarakat di sana.

Sejak zaman pergerakan sampai Indonesia merdeka, penggunaan blangkon tergeser oleh peci, terlihat dari contoh-contoh yang diperlihatkan para tokoh nasional, yang lebih sering menggunakan peci dalam setiap aktivitasnya. Blangkon dianggap sebagai simbol feodalisme dan kurang seegaliter peci.

Saat ini blangkon masih tetap eksis, meskipun penggunaannya hanya pada seremoni tertentu, seperti pernikahan dan khitanan.

Terkadang penulis sempat terlintas ide, mengapa angkatan bersenjata Indonesia tidak memakai blangkon saja menggantikan baret sebagai ciri kesatuannya? Bukankah blangkon bukan hanya produk budaya Jawa saja, suku-suku lain juga ada yang mengenalnya sebagai bagian dari budaya mereka.

Ide ini terlintas, setelah melihat atraksi pasukan perbatasan India-Pakistan yang mengenakan busana khas negaranya masing-masing. Atau pada pasukan Swiss yang mengawal Paus di Vatikan, terkadang dalam seremoninya masih berbusana warna-warni khas abad pertengahan, atau yang terbaru adalah pasukan Qatar yang mungkin lagi ada momen, mengenakan sorban.

Coba bayangkan apa reaksi orang asing? Mereka bisa jadi akan terpukau dengan busana adat yang dengan bangga dikenakan pasukan militernya negara tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun