Eropa dan Asia, atau bisa juga disebut Asia dan Eropa, atau mungkin lebih tepatnya Asia saja, dengan Eropa hanya sebagai anak benua atau jazirah tersendiri atau sub-kawasan, seperti halnya anak benua India atau Asia Tenggara.
Eurasia, gabunganEropa sebenarnya bisa dipertanyakan apakah mereka bisa dianggap benua terpisah. Perbatasannya dengan Asia masih sering jadi perdebatan sampai saat ini, lagipula Eropa tidak memiliki lempeng benuanya sendiri, di mana lempeng benua mereka menyatu dengan Asia.
Kalau Afrika menjadi benua yang berdiri sendiri, sah-sah saja karena dibatasi terusan Suez dan memiliki lempeng benuanya sendiri, bahkan benua Amerika saja itu dibagi menjadi dua lempeng benua, yaitu Lempeng benua Amerika Utara dan Lempeng benua Amerika Selatan.
Di sini kita mempertanyakan tidak hanya mengapa penyebutan Eropa didahulukan daripada Asia, namun juga mengapa Eropa itu bisa menjadi benua sendiri.
Pemisahan benua Eropa, lebih didasarkan kepada alasan perbedaan budaya dan ras. Meskipun alasan semacam itu juga masih bisa dipermasalahkan.
Sebagai contoh misalnya anak benua India itu mempunyai budaya dan rasnya yang berbeda dengan penduduk yang ada di belahan lain benua Asia, begitu pula sub-kawasan Asia Timur yang pasti beda sekali etnis dan tradisinya dengan penduduk Asia yang lain.
Kawatirnya, pemisahan Eropa menjadi benua terpisah ini lebih disebabkan kecongkakan mereka yang menganggap lebih baik budaya dibandingkan penduduk Asia lainnya.
Kabar mengenai kecongkakan atau kesombongan mereka sebenarnya sudah bukan berita baru, sejak zaman kolonialisme, saat mereka menjajah hampir seluruh penjuru negeri di dunia, mereka merasa di atas bangsa-bangsa non-Eropa, sehingga pernah muncul istilah supremasi kulit putih.
Akibatnya mereka seolah-olah tidak mau dipersamakan atau disederajatkan dengan bangsa-bangsa lain di benua Asia. Dari situ timbulah dengan apa yang disebut sebagai pandangan Eropa-sentris.
Melihat bangsa-bangsa lain non-Eropa dari kacamata orang Eropa, maka standar kebenaran diukurnya dari standar yang dimiliki orang-orang Eropa.
Contohnya mengenai hak asasi manusia, termasuk isu LGBT saat ini di Piala Dunia Qatar, semua negara non-Eropa dianggap seharusnya mengikuti standar bangsa kulit putih tersebut. Apa yang berbeda atau bertentangan pasti akan dianggap tidak sesuai dengan hak asasi manusia versi mereka.
Itulah mereka, meskipun zamannya bukan lagi zaman kolonialisme, nampaknya mereka masih ada rasa lebih baik daripada bangsa-bangsa lain non-Eropa.
Kembali kepada penamaan Eropa sebagai benua, sekali lagi hal itu mungkin suatu saat perlu dikaji ulang. Terutama pada saat hagemoni mereka sudah tidak sekuat sekarang.
Kapankah hagemoni orang-orang Eropa (dan bangsa kulit putih lainnya seperti yang ada di Amerika Utara dan Australia) tidak lagi mendominasi?
Menurut penulis kemungkinan itu bisa saja terjadi, bukankah dominasi orang-orang kulit putih itu baru pada abad 16 ke sini. Sebelumnya tercatat dalam sejarah, bahwa bangsa-bangsa lain non-Eropa juga pernah mengalami masa kejayaannya, bahkan pernah lebih hebat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H