Mohon tunggu...
Rizky Purwantoro S
Rizky Purwantoro S Mohon Tunggu... Lainnya - pegawai biasa

Membaca, mengkhayal dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kelebaran Jalan Raya di Jabodetabek yang Tidak Sama

29 November 2022   08:10 Diperbarui: 29 November 2022   08:21 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar dari medium

Coba kita perhatikan jalan raya yang ada di Jabodetabek, ada yang lebarnya lurus dan rata kanan kirinya sepanjang beberapa kilometer, terutama pada jalan-jalan protokolnya seperti jalan Gatut Subroto dan Sudirman. Akan tetapi tidak sedikit adanya jalan-jalan lain yang bentuknya itu tidak selalu sama kelebarannya, kadang mengecil, namun kadang juga membesar.

Kalau diumpamakan mirip dengan usus, usus itu kan pada titik-titik tertentu terlihat menggelembung, meskipun secara umum diameter kelebarannya hampir sama.

Atau juga seperti gambar anak kecil yang lagi belajar menggambar disuruh membuat jalan tanpa penggaris, kemungkinan besar hasilnya adalah gambar jalan yang tidak lurus kelebarannya.

Namun apakah sebagian jalan di Jabodetabek itu perancangan gambarnya dibuat oleh anak kecil? Pastinya tidak mungkin, pengerjaan jalan itu merupakan pekerjaan orang dewasa.

Penyebab tidak sama ratanya kelebaran jalan itu bisa ada beberapa penyebabnya, salah satunya adalah bisa jadi pada saat awal kali dibuatnya jalan itu memang tidak melalui perencanaan matang terlebih dahulu. Jalan tersebut terbentuk bukan karena didesign tapi karena faktor historis.

Apa maksudnya faktor historis? Maksudnya adalah masyarakat setempat secara sadar maupun tanpa sadar menyepakati untuk menggunakan akses jalan setapak yang sama secara berulang-ulang setiap waktunya, lama kelamaan akses jalan setapak itu semakin ramai dan karena dianggap penting oleh pemerintah, maka diperbaikilah akses jalan setapak itu menjadi jalan yang dapat dilalui kendaraan.

Karena perlu dilakukan dilalui kendaraan, butuh pelebaran jalannya juga. Masalah timbul pada saat pelebaran, karena bisa jadi jalan itu kanan dan kirinya sudah banyak didirikan bangunan permanen, ada yang bisa dipindahkan, tapi ada juga yang sulit relokasinya.

Apabila bangunan buatan manusia masih bisa direlokasi, lebih sulit lagi jika yang dihadapi adalah landscape alam. Secara topografi, alam tidak melulu datar, ada juga perbukitan, ada juga sungai, jurang, dan lain-lain.

Rekayasa manusia untuk mengubah landscape alam mungkin saja terjadi, apalagi zaman sekarang yang teknologinya sudah jauh lebih canggih. Tapi meskipun bisa diubah, tetap saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Maka hasilnya adalah jalan yang seperti yang disebutkan sebelumnya, mirip dengan usus yang diameter luas penampangnya tidak selalu sama di setiap ruasnya.

Dan apa akibatnya, munculnya apa yang dinamakan dengan efek bottleneck atau leher botol. Jalan itu mungkin sebagian besar lebar, tapi pada titik tertentu menyempit sehingga sering mengakibatkan kemacetan, karena tersumbatnya arus kendaraan yang melewatinya.

Ini ibaratnya seperti pembuluh darah yang tersumbat kolesterol atau lemak, yang jika dibiarkan terlalu lama dapat berpotensi membahayakan pemilik tubuhnya, begitu pula jalan raya, dapat menghambat perekonomian kota atau daerah tersebut. Karena tidak menutup kemungkinan adanya kerugian finansial yang tidak sedikit dialami masyarakat dan pemerintah karena kemacetan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun