Mohon tunggu...
Rizky Purwantoro S
Rizky Purwantoro S Mohon Tunggu... Lainnya - pegawai biasa

Membaca, mengkhayal dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Manusia Mati Sebaiknya Meninggalkan Tulisan

23 November 2022   18:47 Diperbarui: 23 November 2022   18:48 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau harimau mati meninggalkan belang alias kulit atau bulu lorengnya yang khas, lalu gajah mati meninggalkan gadingnya yang pastinya hanya dimiliki binatang bernama gajah. Maka jika manusia mati semestinya meninggalkan apa?

Ada yang bilang manusia mati meninggalkan hutang, yah tidak salah juga meskipun hutang pastinya bukan sesuatu yang ingin dikenang bagi setiap anak keturunan manusia. Utang hanya akan menjadi beban hidup bagi yang keluarga yang ditinggalkan, bisa jadi juga akan menimbulkan rasa kesal mereka kepada orang tua yang telah mati menyisakan hutang yang membebani.

Jadi sebaiknya ada sesuatu yang dapat menjadi kenangan akan sosok hidup sang manusia. Manusia tentu saja tidak memiliki gading layaknya gajah karena akan aneh bentuknya, manusia juga tidak mempunyai kulit loreng atau belang walaupun banyak yang menganggapnya gagah manusia berbaju loreng namun tetap saja itu bukan khas manusia.

Karena itu manusia perlu sesuatu yang tidak harus berasal dari tubuhnya, penyebabnya manusia diciptakan itu karena akal pikirannya bukan kelebihan fisiknya.

Sayangnya akal pikiran itu tidak bisa terlihat kasat mata oleh mahluk lain, jadinya harus diterjemahkan ke dalam bentuk yang berbeda. Bentuk apakah itu, bisa bermacam-macam, yang pasti adalah hasil kreasi seumur hidupnya.

Salah satunya adalah tulisan, ya, manusia bisa saja meninggalkan tulisan apabila dirinya telah membusuk di dalam tanah. Tulisan tidak harus yang berbobot, mau ngalor ngidul isinya yang penting nulis.

Setiap manusia bisa menulis, tidak harus menjadi pakar atau professor dulu. Bahkan tukang parkir atau tukang ngamen sekalipun kalau mau dapat menyempatkan dirinya menulis.

Menulis itu mengalirkan apa yang ada di dalam unek-unek kita, boleh-boleh saja misalnya sebagai luapan emosi sampai kadangkala mengumpat, tentunya kalau mau dipublikasi harus diperhalus dengan kata dan kalimat yang sesuai waktu dan tempat.

Nulis itu ibarat orang menangis atau marah karena dapat membuat healing pikiran seorang manusia yang sedang menanggung beban yang tidak ringan dalam hidupnya.

Yah kalau mau nulis untuk mendapatkan uang atau semacamnya sah-sah saja, karena manusia manapun pasti butuh uang, terlebih lagi zaman sekarang. 

Tapi kalau ada yang nulis hanya untuk rileksasi juga tidak masalah, bahkan cara itu sebenarnya akan lebih bebas menentukan tema tanpa harus berpatokan kepada apa yang diinginkan oleh konsumen pembaca.

Intinya mau pintar ataupun bodoh, tetaplah menulis, biarpun hanya beberapa kata saja, dan meskipun tidak jelas maksudnya. 

Tapi itu kelak akan menjadi warisan kita di kemudian hari bagi anak cucu, dan mereka akan menyaksikan bahwa ayah, ibu, kakek, atau nenek mereka pernah mewariskan sesuatu yang menjadi saksi atas kehidupannya dahulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun