hukum itu sudah tidak dapat lagi dianggap sebagai panglima, terutama di negeri ini. Hukum itu justru kenyataanya disetir dan dipengaruhi pembuatannya oleh pihak-pihak lain yang tidak berwenang sama sekali dalam setiap proses penyusunan suatu produk hukum.
Penulis sempat menyinggung pada beberapa tulisan bahwa sebenarnyaPihak lain itu adalah para pengusaha, yang tampaknya tidak jarang bermain di balik layar dengan memainkan kedekatannya dengan pejabat-pejabat puncak agar dapat memuluskan kepentingan bisnisnya. Memang dalam dalam tahapan penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat klausul-klausul yang memerintahkan untuk mengikutsertakan pihak lain non-pemerintahan yang berkepentingan dan juga terdampak akibat dari dikeluarkannya produk hukum tersebut.
Hanya saja disayangkan adanya keterlibatan oknum pengusaha yang sudah terlalu jauh melampaui haknya untuk memberikan masukan yang dibutuhkan pada proses penyusunan peraturan itu. Pengaruhnya terkadang tidak kecil karena pernah sanggup meminta secara langsung tanpa melalui mekanisme judicial review agar peraturan yang diperkirakan merugikan mereka untuk dicabut atau diubah sesuai kepentingannya.
Sehingga pernah terjadi ada peraturan yang usianya baru seumur jagung, baru saja diundangkan atau disahkan namun dalam hitungan hari atau bahkan jam dicabut kembali. Kejadian ini banyak yang menduga karena ada desakan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan, dan pihak itu tidak lain kemungkinan besar adalah pengusaha.
Ada dua catatan penting di sini. Yang pertama pemerintah itu pada saat mau menelurkan sebuah peraturan sudah pasti didasarkan pada suatu agenda dan program yang perlu dilakukan demi kelancaran pembangunan.
Misalnya pernah ada peraturan yang mewajibkan setiap pelaku usaha yang berkecimpung dalam usaha pemasukan daging untuk memiliki tempat penyimpanan daging bekunya sendiri agar dapat menjamin keamanan produknya pada saat dikonsumsi masyarakat kelak. Tapi karena ada asosiasi pengusaha yang memprotes kalau ketentuan yang mewajibkan mengenai penyimpanan daging beku dirasa memberatkan sebagian pengusaha maka tidak lama kemudian peraturan yang baru saja diundangkan itu langsung diubah kembali.
Dengan demikian program yang sudah pernah dicanangkan pemerintah untuk melindungi konsumen dari kemungkinan beredarnya daging yang tidak higienis dan terjamin kesehatannya jadi lebih sulit lagi terealisasi. Terlebih dengan merebaknya wabah Penyakit Mulut dan Kuku pada ternak ruminansia menyebabkan pekerjaan mengamankan pangan berupa daging yang bebas penyakit menjadi lebih sulit.
Catatan kedua, mungkin tidak ada salahnya bagi pemerintah untuk menjaring lebih banyak pihak yang berkepentingan termasuk para pelaku usaha dalam setiap proses penyusunan suatu produk hukum untuk menghindari adanya gugatan atau protes mereka terhadap peraturan yang baru saja lahir. Tidak mudah memang mengimplementasikan prosedur ini karena meskipun sudah mengajak sebanyak-banyaknya kelompok atau asosiasi pengusaha, tetap saja ada sekelompok pelaku usaha yang merasa tidak diikutsertakan karena kurang mendapatkan informasi sebelumnya.
Selain itu juga terkadang antara kepentingan sebagian pelaku usaha dengan program yang akan dijalankan pemerintah tidak selalu bersisian. Oleh karena itu mungkin perlu ada urun rembuk agar tidak perlu ada yang merasa terlalu dirugikan.
Tetapi tentu saja legitimasi hukum sebaiknya tetap dihormati begitu ada suatu peraturan yang baru saja diberlakukan. Karena begitu suatu produk hukum telah disahkan harus ada kesadaran bagi setiap pihak termasuk pelaku usaha bahwa peraturan itu lahir setelah melewati proses yang telah dibicarakan dan disetujui bersama termasuk dengan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H