Mohon tunggu...
Rizky Purwantoro S
Rizky Purwantoro S Mohon Tunggu... Lainnya - pegawai biasa

Membaca, mengkhayal dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kritik untuk Profesi Perancang Peraturan Perundang-undangan

17 November 2022   11:06 Diperbarui: 17 November 2022   11:07 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selain pengacara, notaris, dan jaksa, sebenarnya masih banyak jenis profesi hukum lainnya yang belum terlalu familiar bagi masyarakat umum di Indonesia. Salah satunya adalah perancang peraturan perundang-undangan yang memang eksistensinya belum terlalu lama karena baru ada beberapa tahun setelah era reformasi di negeri ini.

Perancang perundang-undangan mulai naik daun sejak Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 diundangkan. Undang-undang tersebut menjadi landasan hukum bagi profesi ini supaya dapat menjalankan tugas dan wewenangnya.

Berbeda dengan pengacara dan notaris yang statusnya adalah sebagai profesi swasta. Perancang perundang-undangan merupakan salah satu profesi hukum yang hanya ada di dalam lingkup pemerintahan saja, baik itu di lembaga eksekutif maupun legislatif.

Niat awalnya dibuatnya profesi hukum perancang peraturan perundang-undangan itu cukup luhur, yaitu menjadikan setiap produk hukum yang dilahirkan itu menjadi lebih berkualitas dan sesuai dengan standar peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Para perancang peraturan perundang-undangan ibaratnya memiliki peran besar dalam mengawal setiap proses pembentukan peraturan perundang-undangan sampai berhasil disahkan.

Akan tetapi dalam perjalananya, perancang peraturan perundangan ternyata pekerjaannya menjadi seperti seperti editor buku saja. Hal ini dikarenakan sebagian besar dari mereka cenderung lebih terfokus kepada pemeriksaan kalimat per kalimat yang ada dalam setiap produk hukum, apakah kalimat atau kata itu sudah sesuai dengan standar baku atau posisinya sudah tepat menurut logika mereka.

Penyebab terjadinya itu tidak lain karena kurangnya para perancang menguasai subtansi dari setiap produk hukum yang sedang mereka kerjakan. Dampaknya cukup besar karena apabila suatu produk hukum dapat selesai dengan cepat namun karena menurut para perancang peraturan perundang-undang masih banyak yang perlu diperbaiki tata bahasanya maka membuatnya menjadi lebih lama.

Kurangnya pemahaman para perancang terhadap subtansi bisa jadi karena adanya aturan kaku yang mengharuskan perancang menempuh pendidikan hukum secara linier sehingga berkurang kesempatannya untuk menimba ilmu lain non-hukum. Itu terlihat apabila seseorang perancang mau mengumpulkan angka kredit yang sudah menjadi kewajibannya, angka kredit itu terkait pendidikan hanya besar nilainya jika pendidikannya juga hukum bukan non-hukum.

Menjadi perancang saja juga harus seorang sarjana hukum dan tidak boleh sarjana non-hukum. Ditambah lagi apabila ingin meneruskan ke jenjang S2 maka juga harus hukum.

Jadinya hampir pasti seorang perancang yang ada saat ini ilmu yang dikuasainya hanya ilmu hukum. Mungkin saja ada perancang yang memperdalam ilmu non-hukum tapi itu cukup jarang karena memang tidak didukung oleh aturan yang ada, kebanyakan mereka akan berpikir untuk apa mengeluarkan biaya besar untuk sekolah lagi jika ternyata hasilnya tidak berdampak besar ada kenaikan angka kreditnya yang menjadi tujuan karir setiap pejabat fungsional di lingkungan pemerintahan.

Bukankah akan lebih hebat seandainya ada perancang yang banckground pendidikan non-hukum. Apalagi jika pendidikan non-hukum yang pernah mereka dapatkan itu sangat berkaitan dengan subtansi produk hukum yang sering dihadapinya. Mereka tentu saja akan lebih menguasai pokok permasalahan yang ada didalam produk hukum tersebut daripada hanya sekedar menjadi tukang jahit peraturan saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun