Sepertinya sudah cukup banyak tulisan yang mengangkat mengenai tema apa yang akan terjadi kalau Jerman Nazi di bawah kepemimpinan Adolf Hitler berhasil keluar sebagai pemenang dalam Perang Dunia Dua. Oleh karena penulis mencoba membuat analisis sekedarnya tentang apa yang mesti Jerman Nazi perbuat supaya dapat memenangkan kancah perang dunia tersebut.
Secara modal, Jerman Nazi telah memiliki teknologi persenjataan yang bisa dianggap termasuk paling canggih pada masa itu dibandingkan negara-negara besar lainnya. Alutsista mereka sudah teruji dan diakui kehebatannya sejak berdirinya Kekaisaran Jerman pada tahun 1871.
Berbagai macam penemuan teknologi persenjataan dan teknologi pendukung lainnya dari dulu memperlihatkan kepada kita betapa jeniusnya para insinyur negeri Elang Hitam tersebut. Dan itupun tidak berhenti setelah kekalahan dan kehancuran mereka pasca Perang Dunia Dua karena sampai dengan era modern saat ini Jerman masih selalu saja berhasil memproduksi peralatan dan kendaraan militer yang berkualitas tinggi.
Itu jika dilihat dari teknologi persenjataannya, tapi tidak hanya itu karena Jerman juga mempunyai modal lainnya yang bisa jadi lebih penting dari persenjataan yang canggih. Modal yang dimaksud adalah etos kerja dan kedisiplinan ala militer yang sudah tertanam kuat di rakyatnya semenjak zaman Prusia.
Prusia mewariskan kepada Jerman berupa tradisi militer pada angkatan bersenjata dan birokrasi pemerintahannya. Milterisasi telah berakar kuat di negeri tersebut sehingga cenderung membuatnya siap untuk menghadapi peperangan yang mungkin setiap saat dapat terjadi. Apalagi Jerman selalu saja kelimpahan sosok-sosok Jenderal brilian yang sangat kompeten seperti Hindenburg dan Rommel.
Tapi faktor-faktor diatas itu saja tampaknya tidak cukup untuk membawa Jerman mengambil kesempatan memenangkan perang dunia manapun. Ada beberapa pelajaran yang semestinya wajib dipertimbangkan oleh mereka jika mau menang perang besar.
Sang kanselir legendaris mereka, Otto Von Bismarck telah mencontohkan dengan jelas bagaimana sebaiknya Jerman itu memposisikan dirinya dalam setiap kebijakan politik luar negerinya. Pada masa kepemimpinannya, beliau berhasil membawa negeri tersebut untuk selalu menghindari jumlah musuh yang terlalu banyak sehingga dapat menyulitkan Jerman dalam bermanuver.
Kebijakan politik luar negeri Jerman pada saat itu selalu berusaha mengucilkan posisi Perancis dengan tetap menjaga hubungan baik dengan negara-negara besar lainnya terutama Inggris dan Rusia. Kebijakan itu dilakukan untuk mengantisipasi pecahnya dua front atau lebih peperangan apabila Jerman terpaksa berperang suatu saat.
Memang kalau itu yang dilakukan maka Jerman akan terkesan menjadi negara pasifis yang menghindari konflik yang tidak perlu. Tidak lagi terlihat sebagai negara agresif yang bernafsu untuk mendominasi kawasan Eropa. Karena kalau itu yang terjadi maka dapat memancing negara-negara lain untuk berkompetisi berlomba-lomba memperkuat kekuatan militernya karena merasa terancam dengan semakin agresifnya Jerman memperkuat persenjataan alutsistanya.
Memiliki banyak teman daripada musuh, seharusnya itulah yang dilakukan Jerman sepeninggal Otto Von Bismarck. Namun sayangnya kebijakan itu perlahan ditinggalkan disebabkan adanya ambisi kuat dari para pemimpin beserta petinggi militernya negeri itu untuk menjadikan Jerman paling kuat di Eropa.
Bukankah Jerman akhirnya dua kali kalah dalam perang dunia salah satunya karena kewalahan menghadapi lebih dari satu front. Ya, Jerman kalah karena dikeroyok oleh banyak negara dan disatu sisi mereka tidak mempunyai satu pun sekutu yang dapat diandalkan.
Sehebat apapun kedisiplinan dan teknologi militernya, apabila dikeroyok oleh banyak negara. Mau tidak mau pasti akan terkuras juga sumber dayanya dan kalau itu yang terjadi maka Jerman tinggal menunggu waktu untuk kalah.
Jerman pastinya butuh sekutu yang banyak salah satunya karena negeri mereka sendiri lumayan miskin sumber daya alamnya. Mereka pasti akan kesulitan jika mau menginvasi setiap negara yang memiliki sumber daya alam yang dibutuhkannya, itu memerlukan efforts dan harga yang terlampau mahal apabila dibandingkan hasil yang mungkin dapat diterima mereka.
Mungkin saja Jerman perlu membuat aliansi dengan negara-negara yang dekat secara ideologi, yaitu nasionalis. Isu anti komunis juga dapat dimanfaatkan untuk diangkat dalam kampanye mereka, karena pada masa itu euforia ketakutan terhadap bahaya merah cukup besar di kalangan masyarakat Eropa.
Jika itu yang dilakukan Jerman, maka tidak menutup kemungkinan hampir sebagian besar negara-negara Eropa akan mendukung kebijakan negara tersebut. Bahkan negara-negara semacam Polandia dan Yunani yang sebenarnya cenderung fasis dan anti komunis berpotensi diajak menjadi sekutu daripada mesti ditaklukan sebagaimana yang telah terjadi. Dan bilamana Jerman dapat mengajak kedua negara diatas, maka kemungkinan besar Spanyol dan Turki yang awalnya ragu-ragu untuk ikut bergabung akan antusias ikut serta dalam kampanye anti komunis Jerman.
Dengan mengajak negara-negara dalam jumlah tidak sedikit pastinya mengharuskan adanya aliansi atau wadah resmi yang dapat lebih mengikat seperti NATO yang ada pada masa modern saat ini. Wadah itu perlu karena Jerman tidak bisa bertindak untuk kepentingannya sendiri tanpa adanya kesepakatan dengan sekutu-sekutunya karena negeri itu pasti membutuhkan adanya back up kuat dari teman-temannya jika mereka kemudian mendapatkan kesulitan yang tidak dapat diatasinya sendiri. Ego para petinggi Jerman mestinya dikurangi demi kejayaan bangsa mereka sendiri. Â
Jangan sampai seperti kasus operasi Barbarossa yang dilakukan Jerman tanpa banyak koordinasi dengan Jepang untuk menganeksasi Uni Sovyet secara berbarengan dari dua sisi sekaligus. Akibatnya karena lemahnya koordinasi itu mengakibatkan Jepang ternyata telah mengadakan pakta non-agresi dengan Uni Sovyet pada saat Jerman menyerang negara tersebut.
Padahal sekutu yang merupakan musuh Jerman c situ jauh lebih kompak walaupun memang ada juga persaingan di antara mereka namun jauh lebih ringan daripada yang terjadi di pihak Jerman. Sekutu saja dalam menentukan mana yang lebih harus didahulukan untuk dihadapi, mereka sepakat untuk front Eropa terlebih dulu baru setelah itu front Pasifik diselesaikan. Belum lagi dalam operasi besar seperti Pendaratan Normandy D-Day dan pemberian bantuan logistik terus menerus oleh Amerika Serikat dan Inggris kepada Uni Sovyet selama berkecamuknya Perang Dunia Dua.
Biarpun Jerman dan sekutu-sekutunya kurang mempunyai sumber daya alam yang melimbah sebagaimana yang dimiliki Amerika Serikat, Rusia, dan Cina. Kemungkinan Jerman cs untuk menang tetaplah besar asal saja mereka berhasil mengkoordinasikan setiap operasi militernya bersama-sama dan juga menerapkan kebijakan politik yang seragam untuk menghadapi musuh bersama.
Terakhir, untungnya kekompakkan Jerman cs tidak benar-benar terwujud. Karena jika tercipta aliansi kuat semacam diatas maka perang dunia bisa jadi akan berlangsung jauh lebih lama, dan salah satu hasilnya bisa saja negara bernama Indonesia tidak akan pernah lahir seperti saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H