Pernah ada semacam adegan pada suatu film yang bertema Perang Dunia Dua, hanya saja kali film ini lebih menggambarkan perjalanan perang dari sudut pandang Jerman sebagai pihak yang kalah dalam perang besar tersebut. Pada adegan itu ada dua orang prajurit Schutzstaffel atau SS Jerman dalam sebuah pertempuran sengit, mereka berdua ada di dalam bangunan yang tampaknya sudah hancur.
Adegan itu berisi dialog pendek antara dua orang prajurit itu, prajurit pertama bertanya apakah yang akan terjadi pada kita jika Jerman sampai harus kalah dalam peperangan ini? Prajurit kedua lalu menjawabnya, bahwa kita semua sebagai seorang prajurit Jerman akan dikutuk selamanya menjadi setan.
Dialog ini sangat pendek, namun dari obrolan singkat tersebut dapat tergambarkan bagaimana nasib mereka yang kalah dan seperti apa mereka akan ditulis dalam buku sejarah ke depannya. Nasib yang seakan-akan membuat mereka seperti dikutuk selamanya oleh dunia, bahwa mereka akan dianggap orang jahat atau bahkan setan hanya karena berpihak pada yang kalah.
Penulisan sejarah setelah berakhirnya peristiwa tersebut tentu akan dilakukan oleh pihak yang menang bukan yang kalah, dimana yang kalah tidak punya apa-apa lagi selain merenungi nasibnya dengan menjalani sisa hidup yang gelap yang sebenarnya mungkin masih lebih baik daripada harus menghadapi tiang gantungan. Sedangkan pihak yang menang akan memiliki semua fasilitas yang ada, termasuk membuat penulisan sejarah terbaru terhadap peristiwa yang baru saja usai.
Sang pemenang perang dimana saja dan kapan saja tentu saja tidak ingin terlihat sebagai para penjahat yang memenanginya dengan cara curang. Mereka ingin dipandang sebagai pembela kebenaran dan keadilan yang berhasil menghancurkan setan kejam yang telah memperbudak umat manusia.
Dan itulah yang terjadi selama ini. Jauh sebelum pecahnya perang dunia kedua, penulisan sejarah oleh pihak pemenang selalu akan banyak bias karena lebih mengangkat nama besar sang pemenang dan menjelekkan si kalah yang dicitrakan sebagai penjahat perang atau bisa lebih jelek lagi sebagai setan durjana.
Apabila ditanya apakah ada penulisan sejarah yang benar-benar obyektif. Menurut penulis tidak ada sama sekali karena semua karya tulis sejarah pasti akan dipengaruhi oleh steorotipe dari penulisnya. Apalagi jika yang menulis adalah yang memenangkan pertarungan, pasti kesempatan itu tidak akan disia-siakan mereka.
Seolah-olah dalam sejarah umat manusia telah terjadi pergulatan antara kebaikan melawan kejahatan atau malaikat menghadapi setan. Padahal kalau mau jujur, sebenarnya setiap peristiwa sejarah itu sebaiknya dilihat banyak sudut pandang, tidak hanya satu sisi saja apalagi hanya dilihat dari para pemenang perang.
Sulit memang mendapatkan obyektifiktas dalam menilai suatu peristiwa sejarah. Hal ini disebabkan sedikitnya bukti-bukti yang dapat diperoleh, apalagi jika peristiwa itu sudah lampau terjadi atau memang sengaja dimusnahkan oleh pihak lawannya untuk menghilangkan jejak yang sebenarnya.
Tapi justru mendapatkan sudut pandang yang berbeda dalam melihat sejarah itu sangatlah penting karena akan mempengaruhi paradigma seseorang dalam menilai sesuatu dalam kehidupan bermasyarakat. Stigma-stigma bisa bermunculan dari steorotipe yang sudah tertanam dipikiran kita terhadap orang lain, suku lain, ataupun penganut agama lain.
Dari stigma maka lahirlah perasaan simpati atau sebaliknya perasaan benci yang mau tidak mau dapat menimbulkan sikap dan perbuatan tertentu yang mungkin dapat merugikan pihak lain. Sampai ada kata-kata Like or Dislike yang sepertinya akan jadi penilaian seseorang terhadap pihak lainnya terlepas pihak lainnya itu sudah berbuat baik kepada dirinya.