Mohon tunggu...
Rizky Purwantoro S
Rizky Purwantoro S Mohon Tunggu... Lainnya - pegawai biasa

Membaca, mengkhayal dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tumbuhnya Kelompok Preman di Kota Besar sebagai Mekanisme Bertahan Hidup Kaum Urban

11 November 2022   15:03 Diperbarui: 23 November 2022   08:25 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bertahan hidup dan mencari nafkah di kota besar terkadang memang keras dan tidak mudah. Terutama bagi para pendatang yang tidak sedikit yang akhirnya harus terjerumus ke dalam kemiskinan karena kalah bersaing dengan mereka yang lebih dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan perkotaan.

Kota besar itu ibarat piring yang tersaji penuh dengan gula-gula manis yang menarik banyak sekali semut dari segala penjuru untuk merasakan manisnya makanan tersebut. Para semut itu ada yang berhasil meraih yang mereka inginkan namun lebih banyak lagi yang gagal.

Begitu pula keadaan yang terjadi pada setiap kota besar. Di mana kota besar itu seakan-akan menjanjikan adanya keuntungan dan kenikmatan yang dapat diperoleh setiap pendatang dari seluruh daerah jika mereka mau mengadu nasib merantau ke sana.

Sayangnya jumlah gula-gula manis yang diperebutkan itu tidaklah dapat memenuhi kebutuhan perut seluruh semut-semut itu. Persaingan sangat ketat tercipta di antara semut-semut untuk memperebutkan makanan yang sama, tidak jarang persaingan itu sampai berdarah-darah hingga menimbulkan korban jiwa. Persaingan yang tidak kalah sengit juga terjadi di dunia manusia dalam kehidupan perkotaan yang keras.

Karena kerasnya kehidupan di kota mau tidak mau memaksa mereka untuk hidup berkelompok dengan orang-orang yang dianggapnya masih ada hubungan kekerabatan atau minimal berasal dari daerah yang sama. Maka terwujudlah komunitas-komunitas yang sifatnya cenderung kedaerahan pada setiap kota besar.

Komunitas itu tumbuh cukup subur dan kadang kala mengadakan kegiatan yang cukup positif bagi anggotanya semacam ajang silahturahmi dan forum untuk membantu sesama anggotanya yang mungkin sedang mengalami kesulitan. Akan tetapi sayangnya ada juga komunitas kedaerahan yang justru sering terjun ke dunia kekerasan dan kriminal di jalanan.

Dari situ muncullah kelompok-kelompok preman yang mengatasnamakan etnis atau suku tertentu. Sebagian besar pekerjaan mereka biasanya seperti mengelola lahan parkir, pasar, menjaga tempat hiburan atau sebagai debt collector atau penagih hutang.

Bisa jadi karena mereka kurang memiliki skill atau keahlian yang dibutuhkan untuk dapat survive bertahan hidup di kota yang keras membuatnya tidak banyak pilihan. Mengelola lahan parkir, pasar atau penagih hutang sendiri merupakan contoh pekerjaan yang cukup mengandalkan otot dan keberanian semata serta akan lebih bagus lagi apabila dilakukan berkelompok.

Masalah timbul pada saat obyek seperti tempat hiburan dan pasar itu tidak cukup untuk dibagi rata antara kelompok preman yang ada. Dari situ maka pecahlah konflik di antara para preman tersebut karena mereka cenderung lebih suka menyelesaikan masalahnya dengan kekerasan sehingga sering menimbulkan korban jiwa tidak sedikit seperti luka-luka atau terbunuh.

Perbuatan kriminal mereka tidak hanya itu saja, terkadang ada juga yang melakukan pemalakan atau pemerasan terhadap warga yang kebetulan lewat atau kepada pedagang yang berjualan di daerah mereka. Selain ada juga meskipun sedikit yang sampai nekad melakukan pembegalan dan penjambretan dengan disertai ancaman pembunuhan bagi korban yang melawan.

Itulah sekian perbuatan kekerasan yang banyak dipraktikkan oleh banyak kelompok preman yang sebenarnya sifat kelompoknya tidak jauh berbeda dengan komunitas lainnya yang cenderung mengatasnamakan daerah atau suku tertentu. Namun perbedaannya yang satu hanya sekedar sebagai ajang silahturahmi sedangkan satu lagi sudah berani melakukan perbuatan kriminal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun