tanah suci untuk memenuhi panggilan ibadah Umroh disana. Peristiwa itu terjadi kira-kira pada tahun 2015 yang lalu.
Pada suatu kesempatan penulis sempat diberikan rezeki untuk menengok keHanya saja setelah hampir sepuluh hari menuaikan ibadah di Mekah dan Madinah. Ada beberapa penilaian yang sebaiknya diperbaiki oleh pihak yang bertanggungjawab dalam mengadakan pelaksanaan ibadah di tanah suci tersebut.
Pada awalnya kami tiba di bandara Jeddah, seperti pada umumnya harus menjalani pengecekan dokumen resmi yang harus dipenuhi setiap kali mau masuk ke negara orang. Akan tetapi entah memang sudah biasa terjadi atau kebetulan saja, pada saat itu terjadi antrean yang luar biasa panjangnya sehingga memakan waktu yang tidak sebentar sekitar 4 hingga 5 jam mengantri didepan loket pemeriksaan dokumen dibandara.
Jadinya kesan pertama saja sudah tidak bagus dari yang diperlihatkan oleh pelayanan dibandara Jeddah. Tidak jelas apa yang menjadi penyebab terjadinya antrean yang begitu panjang, ada yang bilang karena untuk mengantisipasi masuknya pengedar narkotika yang menyimpan barang terlarangnya diperut makanya membuat para petugas bandara terkesan santai dan kadang meninggalkan loket kosong sama sekali, tapi kalau itu yang menjadi alasannya mengapa dinegara lain tidak sepanjang itu antreannya.
Lalu setelah akhirnya kami mendapatkan kamar dihotel tempat menginap sementara selama disana, ternyata tidak jarang ada perlakuan yang terkesan merendahkan dari orang-orang asli sana yang mungkin kebetulan juga menginap ditempat yang sama. Seakan-akan mereka menganggap bahwa bangsa berwajah melayu itu semuanya pasti datang ke negeri padang pasir itu adalah sebagai TKW atau TKI sehingga dianggap sebagai warga pendatang kelas bawah.
Didalam Masjidil Haram sendiri, ada saja perilaku para tentara atau askar yang bertugas berpatroli didalam masjid itu berperilaku kasar dan memperlakukan secara kasar para tamu Allah. Mungkin memang budaya mereka seperti itu namun mereka itu bertugas melayani orang-orang yang berasal dari beraneka ragam budaya yang berbeda, tidak sepantasnya mereka bersikap keras seolah-olah orang-orang yang datang itu adalah budak-budak mereka yang boleh saja dihardik semaunya.
Itu terkait dengan perlakuan para petugasnya, selain itu terjadi juga peristiwa yang sebenarnya tidak layak terjadi ditempat yang telah dinobatkan menjadi tanah suci. Yang pertama adalah peristiwa penjambretan dengan korbannya adalah salah satu teman yang sama-sama menjadi anggota rombongan umroh kami, kejadian itu terjadi pada saat kami mau berangkat dari hotel ke masjidil haram dan sepertinya penjambretan itu bukan hal yang baru disana.
Yang kedua adalah penipuan oleh tukang cukur rambut yang menawarkan jasanya terhadap para jamaah yang baru saja selesai menuaikan umrah. Mereka menjanjikan harga potong rambutnya murah namun setelah selesai dicukur justru "ditodong" dengan harga yang jauh lebih mahal daripada kesepakatan sebelumnya.
Kalau ada yang memaklumi kedua kejadian itu mungkin tidak apa-apa apabila terjadi di Indonesia atau negara lain yang bukan merupakan tanah suci yang kehormatan harus dijaga. Tapi ini terjadi di tanah suci Mekkah dan Madinah, bahkan negara-negara maju non-Islam saja tingkat kriminalitasnya bisa jauh lebih rendah dibandingkan kedua tanah suci tersebut. Apakah contoh peristiwa diatas tidak membuat malu umat Islam kalau diketahui oleh umat beragama lain karena justru terjadi ditempat yang paling mereka junjung tinggi.
Tapi sayang seribu sayang kalau kita membicarakan masalah ini ke teman-teman, sebagiannya pasti langsung berpendapat bahwa kita sebaiknya tetap bersabar dan ikhlas selama di tanah suci karena itu sudah bagian dari ujian dalam memperoleh pahala selama beribadah disana. Jadi apapun yang terjadi pada kita termasuk apabila ada perlakukan yang tidak sepantasnya maka kita sudah sewajarnya untuk "nrimo" saja tanpa perlu mempertanyakan tidak baiknya pelayanan yang diberikan petugas disana.
Sikap "nrimo" yang terus dipertahankan seperti itu disatu sisi mungkin bagus sebagai jawaban untuk menguatkan kesabaran dan keikhlasan para jamaah disana. Akan tetapi disisi lain jika pelayanan seperti itu dibiarkan terus menerus tanpa ada koreksian maka sampai kapanpun pelayanan di kedua tanah suci itu tidak akan ada perbaikan berarti dan tidak menutup kemungkinan akan membuat malu umat Islam dimata umat beragama yang lain.
Orang-orang Arab mungkin mendapatkan kehormatan karena wahyu pernah beberapa kali turun ditanah mereka sehingga menjadikan lokasi tanah suci itu ada ditengah-tengah mereka. Namun tidak lantas otomatis membuat mereka menjadi ras tertinggi diantara ras-ras lainnya dalam ajaran Islam karena jika itu tetap dibiarkan maka citra bahwa Islam sebagai agama egaliter yang menganggap sederajat dan sama semua penganutnya tanpa memandang suku bangsanya hanya akan menjadi mitos belaka dalam buku-buku cerita anak-anak kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H