Mohon tunggu...
Rizky Purwantoro S
Rizky Purwantoro S Mohon Tunggu... Lainnya - pegawai biasa

Membaca, mengkhayal dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indianisasi Budaya di Tanah Air

11 November 2022   10:17 Diperbarui: 23 November 2022   09:33 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kaum nasionalis di tanah air semenjak lahirnya negeri ini selalu berusaha mengangkat identitas asli Indonesia supaya diharapkan dapat memperkuat kebanggaan bahwa kita telah memiliki jatidiri yang berbeda daripada bangsa lain. Akan tetap alangkah ironisnya karena hampir sebagian besar warna budaya yang kembali didengung-dengungkan justru berasal dari suatu budaya dominan yang ada di Asia Selatan, yaitu budaya India.

Jika ada pengaruh dari luar semacam Eropa, Tionghoa, atau bahkan Arab dianggap sebagai pengaruh asing yang tidak sesuai dengan tradisi asli di Indonesia. Selalu saja ada resistensi dari kaum nasionalis terhadap adanya pengaruh dari budaya-budaya besar diatas, dan yang akhir-akhir ini sering ramai adalah pengaruh Arab yang sampai ada idiom Kadal Gurun bagi mereka yang terkadang cenderung mengenakan aksesoris yang agak mirip orang Arab atau punya pemikiran yang agak Islamis.

Tapi ironisnya warna kebudayaan yang dibanggakan para kaum nasionalis justru sebenarnya bukanlah asli seratus persen dari tradisi bangsa ini, karena corak Indianya begitu kuat sampai-sampai istilah Indianisasi mungkin cukup tepat untuk menggambarkan ideologi pemikiran kaum nasionalis di tanah air.

Salah satunya didunia perfilman dimana mereka pernah mencoba mengangkat tokoh-tokoh orisinal negeri ini untuk menandingin superhero barat yang telah mencecoki imajinasi anak-anak Indonesia. Namun ternyata tokoh-tokoh yang diangkat adalah nama-nama seperti Gatot Kaca atau Arjuna misalnya, bukankah mereka adalah para pemeran Pandawa dalam teater Mahabarata yang ditulis ribuan tahun lalu ditanah Jambudwipa, India sana dan sama sekali bukan berasal dari karya asli anak negeri ini.

Itu baru contoh kecil didunia perfilman. Contoh lainnya dibidang sejarah, kaum nasionalis selalu berusaha mencitrakan kepada anak-anak kita bahwa kerajaan-kerajaan Majapahit dan Sriwajaya sebagai salah satu entitas politik yang di era mereka dianggap menjadi masa keemasan dari bangsa Indonesia dimasa lampau. Sehingga mendorong para kaum nasionalis tersebut untuk menjadikan keduanya (terutama Majapahit) sebagai negara ideal yang diimpikan mereka dan menjadi contoh model yang patut diikuti jejaknya oleh negara modern bernama Indonesia saat ini.

Ada dua hal yang mungkin dapat kita ambil masukan disini yaitu yang pertama adalah sebaiknya bangsa ini terutama mereka yang pakar dibidang sejarah atau semacamnya untuk kembali berusaha menggali kearifan lokal yang kalau bisa benar-benar tidak terpengaruh atau minimal kecil pengaruhnya dari budaya luar. Contohnya mungkin karya seperti La Galigo yang meskipun tidak luput dari pengaruh dari luar termasuk India tetapi sudah menjadi ciptaan orisinal nenek moyang kita.

Atau kalau mau merujuk kepada masa pra Indianisasi pada sebagian penduduk kepulauan Nusantara maka tidak ada salahnya bagi kita untuk menelusuri jejak-jejak orang-orang Austronesia dan Melanesia yang telah berlayar menjelajahi pelosok samudera Pasifik dan Hindia. Mereka juga tidak kalah hebat dan berbudaya bila dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan terindianisasi yang eksis beberapa ratus tahun kemudian.

Bahkan tidak sedikit tulisan-tulisan yang membahas bahwa orang-orang Austronesia itu pada masa bersinggungan dengan bangsa asing seperti India dan Tionghoa sebenarnya telah lebih banyak melakukan pelayaran dan perdagangan ke negeri-negeri tersebut daripada hanya menjadi bangsa pasif yang menunggu dikunjungi dan juga lebih aktif dalam menyerap dan mengkombinasikan budaya-budaya asing yang mereka adopsi dibandingkan mengambil semuanya tanpa adanya filter yang berarti.

Penjelajahan orang-orang Austronesia tercatat dalam bukti-bukti antropologis bahwa telah sanggup mengarungi samudera dengan peralatan sederhana jauh lebih hebat dari bangsa manapun didunia. Bukti-bukti menunjukkan jika mereka kemungkinan besar telah menjejakkan kakinya dari pantai timur benua Afrika sampai dengan pantai barat benua Amerika Selatan haya dengan bermodalkan perahu sampan bercadik dan navigasi tradisional. Bukankah kalau melihat keberadaan bukti-bukti itu sudah selayaknya bagi kita yang hidup di zaman modern ini untuk membanggakan kehebatan mereka sebagai para pelaut yang legendaris tiada tanding.

Hal kedua adalah memang terkadang harus kita akui kalau bangsa Indonesia yang lahir di abad modern ini merupakan perwujudan banyak budaya luar yang tercampur menjadi satu dan memunculkan entitas budaya baru bernama budaya Nusantara yang sangat beraneka ragam. Didalamnya telah banyak akulturasi budaya-budaya asing, seperti budaya India, Eropa, Tionghoa dan tentu saja Arab yang mau tidak mau secara jujur mesti diakui oleh kita semua.

Coba saja seandainya kita coba menghilangkan pengaruh budaya arab dari budaya tradisional di tanah air, pastinya akan menanggalkan sebagian perbendaharaan kata yang sudah menjadi Bahasa serapan dalam pergaulan kita sehari-hari. Tidak hanya dalam bidang bahasa, dalam bidang lainnya seperti kesenian dan pakaian juga pastinya ada corak-corak pengaruh Arab yang sudah tertanam lama sejak dahulu.

Jadi disini mungkin supaya adil, sebaiknya jangan ada phobia terhadap pengaruh asing manapun terhadap budaya tradisional kita. Diharapkan jangan terulang lagi ada kekawatiran sebagian kalangan di tanah air akan pengaruh asing manapun sepanjang positif dan dapat membangun mengapa harus ditolak.

Dan bagi kaum nasionalis supaya jangan hanya selalu mengangkat dan membanggakan budaya yang cenderung terindianisasi saja dan menampik yang lain. Jika mau membanggakan harusnya mereka menanggalkan semua pengaruh asing itu dan menggali kearifan lokal yang benar-benar murni dan orisinal hasil karya anak negeri ini. Dan apabila ternyata sulit maka mari kita berpikir realistis bahwa yang namanya menjadi sebuah bangsa ditengah-tengah pergaulan masyarakat dunia saat ini pastinya tidak akan lepas dari pengaruh manapun, apalagi di zaman media sosial saat ini yang informasinya cepat sekali menyebar seakan-akan tidak ada sekat sama sekali diantara negara-negara yang ada didunia.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun