Mohon tunggu...
Rizky Purwantoro S
Rizky Purwantoro S Mohon Tunggu... Lainnya - pegawai biasa

Membaca, mengkhayal dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Harapan Orang Tua Sebaiknya Tidak Mematikan Impian Anak-anaknya

4 November 2022   17:00 Diperbarui: 4 November 2022   17:02 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin sampai saat ini masih ada saja orang tua yang masih banyak mengarahkan anak-anaknya untuk sekolah, kuliah atau bisa saja bekerja dimana atau bekerja sebagai apa. Harapan sih sah-sah saja bagi setiap orang tua, sepertinya tidak akan ada orang tua yang menginginkan anak-anak mereka menjadi orang-orang gagal atau mendapatkan kesulitan dalam kehidupannya kelak.

Namun keinginan dan harapan itu semestinya tidak serta merta dibenarkan untuk menjadi justifikasi dalam banyak mendominasi cita-cita dan keinginan si anak, apalagi sampai ada kecenderungan memaksa. Orang tua bisa saja telah memiliki banyak wawasan dan pengalaman hidup yang lebih lama dibandingkan anak-anak itu lebih dikarenakan orang tua telah lahir lebih dahulu, hanya karena alasan itu saja. Orang tua bahkan bukanlah nabi mulia yang mahsum terhindar dari kesalahan dalam hidupnya sehingga para orang tua mungkin sekali untuk melakukan kesalahan. Sebagian orang tua pasti juga bukan guru besar atau professor atau kiyai besar yang mungkin telah memiliki ilmu yang sangat mendalam, uniknya bagi mereka yang mempunyai orang tua seperti diatas justru menjadi anak-anak yang hidup dalam lingkungan yang lebih demokratis karena memang diterapkan dalam kehidupan sehari sejak kanak-kanaknya.

Harapan orang tua seharusnya tidak mematikan impian anak. Tidak dipungkirin para orang tua banyak sekali mengeluarkan banyak biaya yang tidak sedikit, bahkan ada juga yang sampai berhutang sana sini. Namun sekali lagi hal itu tidak dapat jadi pembenaran untuk mengintervensi cita-cita anak-anak mereka. Anak-anak mereka memiliki kehidupannya sendiri, merekalah yang akan menjalaninya sendiri bukan orang tua, baik buruknya perjalanan itu pasti akan dinikmati oleh mereka dan jika ternyata perjalanan mereka banyak dipengaruhi oleh para orang tuanya justru akan membuat anak-anak akan menjalani hidupnya dengan rasa keterpaksaan.

Ada saja sih anak-anak yang menjalani hidupnya berdasarkan keinginan para orang tuanya dan akhirnya tetap sukses juga, namun apakah mereka melakukannya dengan terpaksa atau tidak? Bisa saja ada kesesuaian antara passion dan bakat si anak dengan harapan dan arahan dari orang tuanya dan jika itu yang terjadi maka akan cocok sekali. Akan tetapi apabila yang terjadi sebaliknya bagaimana? Yang akan terjadi bisa saja si anak akan tetap menuruti keinginan orang tua tapi dengan rasa terpaksa sehingga tidak didasari dengan rasa semangat dan tidak menutup kemungkinan si anak akan merasa depresi atau minimal si anak menjadi tidak sesuai dengan bakat yang sebenarnya sehingga menjadi tidak maksimal dalam meraih cita-cita yang sebenarnya cita-cita dari orang tuanya.

Atau tidak jarang si anak akhirnya memberontak menjadi anak diberikan embel-embel gelar sebagai anak durhaka. Sebenarnya si anak tidak ingin menjadi anak durhaka tapi karena dihadapkan pada kondisi yang memaksanya untuk memilih dan pilihannya pasti tidak ada yang mudah maka pilihan yang diambilinya sudah ia ketahui segala konswekensinya. Pemberontakan si anak kadang dapat berakibat panjang, minimal tidak lagi menjadi anak emas karena sudah dianggap pemberontak atau anak yang suka melawan orang tua, bahkan ada beberapa contoh kasus sampai terjadi pengusiran dari rumah atau bisa terjadi pencoretan dari hak waris.

Sekali lagi memang orang tua sudah banyak sekali mengelurakan uang untuk biaya sekolah para buah hatinya namun apakah biayanya itu setimpal dengan mahalnya biaya seumur hidup yang akan ditanggung oleh si anak hingga akhir hayatnya nanti karena harus menjalani perjalanan hidupnya yang tidak sesuai dengan passion dan bakatnya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun