Mohon tunggu...
Rizky Purwantoro S
Rizky Purwantoro S Mohon Tunggu... Lainnya - pegawai biasa

Membaca, mengkhayal dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Urgensi Keberadaan Beladiri Submission Grappling di Indonesia

2 November 2022   10:48 Diperbarui: 23 November 2022   10:04 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar dari Pinterest

Mungkin saat ini orang yang berkeinginan belajar beladiri Submission Grappling atau kalau bisa Brazilian Jujutsu itu sebenarnya tidak sedikit. Terlebih dengan semakin terkenalnya petarung yang memiliki latar belakang Submission Grapling masih banyak mendominasi pada setiap pertarungan Mix Martial Arts atau MMA pada berbagai turnamen berlevel internasional.

Animo atau minat masyarakat terhadap submission grappling ini memang selalu naik turun mengikuti ritme pasang surutnya siapa yang berhasil menjadi juara MMA, apakah dia background beladirinya dari jenis grappling atau standing. Itu terlihat jelas pada perhelatan kompetisi MMA paling tersohor didunia yaitu Ultimate Fighting Championship atau UFC dari Amerika Serikat yang pada beberapa tahun awal diselenggarakannya sempat dikuasai oleh petarung-petarung dari keluarga Gracie sebagai perintis Brazilian Jujutsu atau BJJ dan apa dampaknya? Kegandrungan masyarakat pecinta MMA untuk berlatih BJJ menjadi sangat meningkat pada saat itu.

Setelah beberapa dekade berlalu, MMA tidak hanya diadakan di UFC namun sudah ada turnamen berkelas dunia lainnya seperti Pride dan One Fighting. Pada saat itu permainan grappling tidak lagi sering dipakai oleh para petarung MMA karena sepertinya sudah diciptakannya tehnik yang dapat dipakai untuk mengantisipasi tehnik grappling. Apalagi untuk mencegah pertarungan MMA menjadi semakin membosankan bagi para penonton yang lebih banyak suka terhadap pertarungan berdiri, maka dibuatlah beberapa aturan main yang tidak memperbolehkan para petarung untuk berlama-lama bergulat dimatras.

Era baru di UFC muncul pada sekitar tahun 2012 dengan kehadiran beberapa petarung grappling, salah satunya ditandai sejak masuknya seorang petarung fenomenal, Khabib Nurmagomedov dari Rusia. Beliau kembali mempertontonkan bagaimana hebatnya skill grappling yang berakar dari Sambo berhasil mengalahkan lawan-lawannya sepanjang karir bertarungangnya, hingga dirinya mencatatkan dirinya tidak terkalahkan dengan rekor 29-0 sampai akhirnya pensiun dari dunia tarung bebas professional tersebut di tahun 2020.

Tidak hanya dikancah internasional, pada pentas turnamen MMA lokal di tanah air seperti One Pride Camphionship memperlihatkan beberapa petarung hebat yang background beladirinya submission grappling seperti Suwardi dan Rama Supandhi yang sempat beberapa kali memuncaki gelar juara pada turnamen itu.

Dari situ pengaruh akan kehebatan grappling didalam setiap pertarungan MMA pasti kembali meningkatkan animo masyarakat penggemar tarung bebas, termasuk yang ada di Indonesia. Tidak sedikit anak muda negeri ini yang ingin latihan MMA termasuk menggeluti submission grappling dengan harapan dan mimpi agar suatu saat dapat mengikuti jejak tokoh-tokoh idola mereka di MMA.

Sayangnya harapan itu sepertinya masih agak sulit terealisasi bagi mereka, terutama yang ingin latihan submission grappling. Jenis beladiri ini di Indonesia ternyata masih jauh popularitasnya dibandingkan beladiri-beladiri lain semacam karate atau taekwondo yang dapat dikatakan bahwa hampir disetiap kecamatan pasti ada dojo atau dojang yang menjadi tempat latihan kedua beladiri tersebut. Hal yang sama juga didapati pada sekolah-sekolah dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas yang sebagian besar ekstrakurikuler beladirinya adalah karate, taekwondo, atau silat.

Dari sedikitnya jumlah tempat latihan bermaterikan submission grappling itu di Indonesia, hampir seluruhnya adalah Brazilian Jujutsu yang sebagian besarnya berbentuk klub professional tapi ada juga yang bentuk pengajarannya adalah individual. Dan ironisnya lagi sudah sulit mencari tempat latihan BJJ di negeri ini, begitu menemukannya ternyata biaya yang dibutuhkan supaya dapat latihan disana tidaklah murah, apalagi kalau dibandingkan dengan beladiri populer semacam karate dan taekwondo.

Mahalnya biaya latihan BJJ mungkin relatif bagi sebagian kalangan menengah keatas, tetapi mutlak mahal jika diukur dari dompet mayoritas masyarakat Indonesia yang penghasilannya masih dibawah empat sampai enam juta perbulan. Bagaimana mereka mau rutin latihan kalau kebutuhan primernya seperti pangan dan sandang saja sudah pasti harus didahulukan terlebih dahulu, belum lagi apabila dihitung biaya yang dibutuhkan anggota keluarga lainnya jika mereka juga harus menafkahinya juga.

Memang kalau mengatasnamakan profesionalisme maka pasti memerlukan biaya yang tidak sedikit, terlebih lagi apabila ternyata para instruktur beladirinya juga mengharapkan pemasukan dari sana. Profesionalisme sepertinya mempunyai dua sisi, satu sisi dapat memberikan motivasi kuat bagi instrukturnya agar lebih fokus meluangkan waktu dan energinya untuk melatih karena disanalah mereka dapat mendapatkan penghasilan yang cukup menjanjikan. Disisi lain mau tidak mau menyebabkan tidak murahnya biaya yang dibutuhkan bagi masyarakat yang ingin mengikuti latihan beladiri yang bersangkutan.

Itulah yang situasi terjadi pada BJJ saat ini di Indonesia, bagaimana pengalaman penulis yang mesti menempuh jarak yang tidak dekat karena sebagian besar klub BJJ di Jabodetabek itu berkumpul disekitar daerah elit yang di Jakarta Selatan. Ujiannya tidak berhenti disana, kalau lokasi jauh tapi biaya murah mungkin masih dapat dilanjutkan terus latihannya ditengah kesibukan kita bekerja. Namun karena biaya bulanannya yang cukup besar membuat kita terkadang harus kembali mempertimbangkan untuk kembali melanjutkan latihannya atau tidak, karena masih ada pengeluaran lainnya yang mesti diprioritaskan seperti biaya untuk anak-anak dan orang tua.

Setelah melihat situasi seperti itu, kira-kira apakah ada solusi terhadap penggemar beladiri submission grappling yang bisa jadi masih ada semangat untuk kembali latihan tetapi terbentur beberapa problem diatas? Salah satu solusinya mungkin perlu ada perhatian dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olah Raga supaya dapat menganggarkan dana yang cukup untuk memberikan subsidi terhadap klub BJJ yang ada atau menciptakan sendiri klub amatir yang diasuh oleh KONI, Pemda atau asosiasi beladiri terkait sehingga diharapkan dapat mengurangi beban biaya yang kelewat mahal bagi sebagian besar masyarakat.

Solusi lainnya mungkin adalah dengan membuat beladiri semacam submission grappling tetapi yang khas Indonesia. Solusi ini mencontoh dari terbentuknya Luta Livre yang konon dalam perjalanan sejarahnya dikreasikan untuk dapat menyaingi hagemoni BJJ di Brazil pada saat itu. Luta Livre dalam setiap latihannya sengaja tidak menggunakan Gi atau seragam khas Jepang yang biasa dipakai BJJ dalam setiap latihannya dengan alasan harga Gi memang tergolong sangat mahal bagi masyarakat. Dengan tidak mengenakan Gi otomatis dapat memangkas pengeluaran yang dibutuhkan setiap praktisi yang ingin berlatih.

Selain itu dalam menciptakan beladiri submission grappling khas Indonesia ini sebaiknya juga tidak harus selalu diadakan pada tempat-tempat semacam gym yang memang berfasilitas bagus dan nyaman bagi yang mau latihan disana, akan tetapi konswekensinya adalah biaya sewa atau biaya pengadaan fasilitasnya yang mahal dan biasanya dibebankan kepada para praktisi sebagai customernya. Tempat diadakan latihannya perlu mempertimbangkan untuk dipindah ke Gedung Olah Raga (GOR) yang ada disetiap daerah atau kalau perlu disekolah dengan memanfaatkan fasilitas seadanya dengan tentunya tetap mempersiapkan matras yang sesuai dengan submission grappling.

Untuk matras submission grappling sendiri sebenarnya tidak perlu setebal matras Judo dan Aikido yang agak mahal karena berbeda dengan Judo dan Aikido, pada submission grappling ini hampir tidak ada tehnik bantingan yang dipakai dalam setiap latihannya dan seandainya ada dapat disesuaikan dengan kondisi pada tempat latihan yang tersedia. Submission grappling khas Indonesia mungkin juga perlu ada wadah asosiasinya agar organisasi dan kurikulum pelatihannya dapat lebih teratur sehingga berpeluang menghasilkan atlit submission grappling yang dapat mencetak prestasi kedepannya.

Semoga suatu saat bukan mimpi bagi penulis untuk melihat bagaimana beladiri submission grappling telah memasyarakat di tanah air agar tidak menyulitkan anak muda-anak muda berbakat negeri ini supaya dapat latihan beladiri yang mereka minati. Mungkin penulis sudah hampir telat untuk ikut serta dalam latihan submission grappling itu jika suatu saat sudah memasyarakat, namun hati ini sudah cukup bahagisa setelah melihat anak-anak kita akhirnya dapat latihan jenis beladiri ini karena telah ada kemudahan untuk mengaksesnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun