Penerapan Sosiologi Hukum dalam Hukum Pertanian
Ada pameo yang mengatakan kalau hukum atau peraturan itu tidak boleh hanya menjadi macan kertas, jangan sampai peraturan itu kelihatan tegas pada pasal-pasalnya namun pada waktu implementasinya di lapangan jadi melempem. Bahkan tidak sedikit berbagai ketentuan yang dimaksudkan dalam pasal-pasal tersebut menimbulkan resistensi dari masyarakat sehingga menimbulkan konflik-konflik horizontal yang berkembang menjadi problem baru, padahal mungkin sebelumnya dibuatnya peraturan itu untuk mengatasi problem lama akan tetapi yang terjadi sebaliknya.
Memang selama ini Indonesia menganut paham Civil Law, yang salah satu cirinya adalah peraturan perundang-undangan itu dibuat oleh legislatif dan pemerintah untuk diterapkan di masyarakat, istilahnya top-down atau kehendak penguasa untuk rakyat. Para pembuat peraturan di Indonesia banyak mengacu bahwa suatu hukum atau peraturan itu harus dapat merubah masyarakat atau law as a tool of social engineering, yang berarti hukum berlaku layaknya alat pembaharuan dalam suatu masyarakat dan hukum atau peraturan dimaksud diharapkan dapat merubah nilai-nilai sosial yang hidup didalam masyarakat.
Apa yang telah diuraikan didalam prinsip law as a tool of social engineering itu tidak salah, namun alangkah sempurnanya apabila perlu adanya penyesuaian antara target dan sasaran yang diinginkan dalam suatu program pemerintah dengan aspirasi dan kebiasaan yang hidup di masyarakat. Dengan begitu dapat meminimalir potensi konflik yang bisa saja timbul.
Hukum tentu menyentuh semua aspek kehidupan manusia, dari aspek pribadi sampai dengan hubungan antar komunitas. Sejak lahir sampai meninggalnya seorang manusia tidak akan lepas dari yang namanya hukum.
Oleh karena itu dibutuhkan keberadaan hukum yang selalu berevolusi seirama dengan kehidupan manusia yang selalu dinamis dan berkembang. Hukum yang cenderung statis dan kaku pasti akan ditinggalkan oleh masyarakat, penyesuaian antara hukum dengan masyarakat dibutuhkan karena keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak mungkin terpisahkan.
Maka disinilah dikenal apa yang disebut juga dengan sosiologi hukum, yang menjadi bidang hukum yang melihat dari kacamata sosiologi. Dimana sosiologi sendiri berarti ilmu yang membahas tentang berbagai aspek kehidupan bermasyarakat serta pengaruhnya dalam kehidupan manusia sebagai seorang individu.
Melihat dari kacamata sosiologi terutama sosiologi hukum, berarti melihat berbagai fenomena hukum yang timbul dalam suatu masyarakat terlebih setelah diterapkannya suatu peraturan. Apakah ada perubahan perilaku yang muncul pasca adanya peraturan baru tersebut.
Hukum pertanian termasuk salah satu bidang hukum, walaupun bukan bidang yang sudah dikenal orang banyak. Ada beberapa sarjana hukum yang mengklasifikasikan hukum pertanian ini sebagai hukum tata negara karena melihat dari proses penyusunannya yang hampir 100% dikerjakan oleh pemerintah, ada juga yang menganggap hukum pertanian sebagai hukum agraria karena salah satu obyeknya adalah lahan dan ada juga yang melihatnya sebagai hukum lingkungan karena tanaman dan hewan sebagai obyek utama hukum pertanian berkaitan erat dengan lingkungan.
Terlepas dari apakah hukum pertanian termasuk bidang hukum apa, hukum pertanian seperti hukum yang lain juga selain sebagai law as a tool of social engineering di dalam suatu masyarakat tetapi juga harus seiring berjalan dengan nilai dan kebiasaan yang hidup di masyarakat. Karena kalau itu tidak terjadi maka apabila ada peraturan perundang-undangan terkait pertanian baru saja diundangkan oleh pemerintah hanya akan menjadi 'macan ompong' saja disebabkan adanya resistensi yang cukup kuat dari masyarakat petani. Mungkin maksud pemerintah itu baik karena ingin membangun pertanian dan meningkatkan taraf hidup para petani, namun karena terbentur dengan apa yang selama ini diyakini dan dibiasakan oleh mereka menjadikan peraturan perundang-undangan tersebut menjadi sulit diimplementasikan.
Hukum pertanian bila dilihat dari sosiologi hukum maka akan menitikberatkan pada gejala-gejala kemasyarakatan dalam suatu masyarakat petani yang berpotensi timbul atau akan muncul setelah diundangkannya suatu peraturan bidang pertanian. Diharapkan sosiologi hukum dapat menjadi pendeteksi gejala-gejala tersebut sebelum semakin membesar ditengah-tengah masyarakat petani.
Proses pembuatan suatu peraturan perundang-undangan yang pertama sebaiknya harus menyaring aspirasi masyarakat lebih maksimal, jangan sampai karena dikejar target maka penyaringan aspirasi tersebut menjadi sekedar formalitas belaka. Selain itu proses pembuatan peraturan tidak boleh berhenti pada saat selesainya ditanda tangan oleh pejabat tinggi yang berwenang saja. Proses itu harus dilanjutkan dengan sosialisasi intensif kepada masyarakat dan tetap harus dilakukan evaluasi berkala untuk melihat reaksi mereka apakah menerima atau menolak.
Para petani disini diharapkan juga berpartisipasi secara aktif karena bisa jadi pemerintah sebagai regulator memiliki banyak keterbatasan sehingga peraturan perundang-undangan yang dibuatnya butuh banyak masukan. Mungkin para petani perlu ada perwakilannya dalam bentuk lembaga masyarakat atau semacamnya, perwakilan yang memang benar-benar membawa aspirasi dari para petani yang diwakilinya bukan membawa kepentingan politiknya sendiri.
Apabila pemerintah memang dapat menyusun peraturan perundang-undangan seimbang dan sinergi antara sesuai dengan target yang diinginkan dalam program pembangunan pertanian dengan aspirasi dari masyarakat petani sendiri maka hampir dapat dipastikan bahwa peraturan tersebut akan cenderung lebih mudah untuk diterapkan oleh masyarakat petani. Dan jika mudah diterapkan oleh masyarakat petani tentu saja kedepannya dapat mensupport terwujudnya program-program pemerintah bidang pertanian.
Jadi disini sosiologi hukum pertanian dapat dilihat dari cara kira menjaring aspirasi masyarakat petani, menelusuri pendapat apa yang diharapkan oleh para petani dan kemudian dapat disesuaikan dengan kepentingan pemerintah. Namun tidak menutup kemungkinan sosiologi hukum pertanian juga merupakan bagian dari proses terbentuknya suatu regulasi, seperti menjadikan jurispudensi terkait bidang pertanian sebagai sebuah acuan yang dapat mengikat ketentuan yang terjadi di lapangan, walaupun memang asas ini biasanya digunakan pada rezim hukum Anglo-Saxon, namun dalam masa modern ini tidak ada salahnya kalau kita melakukan kombinasi antara asas hukum Eropa Kontinental yang dianut di Indonesia dengan asas hukum dari Anglo-Saxon demi kepentingan kemajuan pembangunan bidang pertanian di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H