Hampir setiap weekend saya selalu meluangkan waktu untuk mengajak anak-anak dan istri saya untuk menikmati liburan akhir pekan. Setelah seminggu masing-masing disibukkan dengan rutinitas keseharian, weekend merupakan waktu yang paling tepat untuk mengendorkan urat dan mengumpulkan tenaga kembali supaya hari biasa berikutnya kembali fresh dalam beraktifitas. Selain anak dan istri, kali ini saya mengajak pembantu saya untuk ikut menikmati weekend ini. Seperti biasa “Si Teteh” juga ikut menikmati liburan akhir pekan, supaya bisa melupakan rutinitasnya juga, karena dia pun sudah kami anggap seperti anggota keluarga. Ritual weekend memang selalu berasa indah jika kita habiskan bersama orang-orang yang kita cintai, yaitu keluarga tercinta. Refresing di akhir pekan tidak selalu dihabiskan di tempat wisata berbiaya mahal, kenikmatan berkumpul dengan keluarga bisa kita nikmati dengan biaya murah meriah. Banyak tempat-tempat di ibukota dan sekitarnya yang bisa kita nikmati secara gratis. Selain menghemat biaya, kita juga bisa mengajarkan kepada anak kita untuk hidup sederhana.
Kali ini saya mengajak keluarga untuk menjajal bus wisata tour city yang digagas pemprov DKI yang tak lain adalah gagasan Gubernur Bapak Jokowi. Bus yang baru beroperasi kurang lebih seminggu lalu menjadi daya tarik tersendiri untuk dinikmati di akhir pekan bersama keluarga, khususnya bagi anda yang memiliki anak balita. Selain kita bisa mengenalkan sarana wisata ibukota kepada anak-anak, kita juga bisa menikmati kemegahan kota Jakarta jauh dari kemacetan, seperti hari-hari biasa. Karena biasanya di seputar Thamrin-Bundaran HI dan Monas akan lebih lenggang dibandingkan di hari kerja.
Menikmati Transportasi Khas Ibukota
Perjalanan wisata kali ini kami mulai dari Stasiun Depok Baru. Sengaja mobil saya parkirkan di stasiun untuk mengajak anak dan istri serta pembantu untuk kali pertama menikmati commuter line. Mereka biar bisa merasakan juga kendaraan yang saya tumpangi setiap kali pulang dan pergi ke tempat kerja, khususnya anak-anak. Tentu bukan commuter line yang penuh sesak yang saya pilih, karena bersama anak-anak commuter line yang relatif lega yang kami naiki. Setelah beberapa menit kami menunggu tibalah kereta yang kami nanti, dan alhamdulillah keadaan di dalam gerbong sesuai yang kami harapkan. Karena kami bersama balita, langsung saja ditawarkan tempat duduk oleh salah satu penumpang yang sudah dari tadi menikmati bangku empuk itu. Kesadaran dalam berkendara seperti inilah yang harus selalu kita jaga supaya orang-orang yang lebih membutuhkan dapat merasakan akan hak nya. Setelah asyik berkereta ria, akhirnya kami pun tiba di stasiun Gondangdia. Setelah turun, kami memilih untuk menaiki Bajaj untuk menuju Halte Bus Wisata City Tour. Pokoknya semua kendaraan yang belum dicoba oleh anak saya itulah yang kami pilih supaya merasakan kenikmatan dalam menaikinya. Anak saya yang besar yang berusia 4 tahun serta “Si Teteh” merasa bahagia bisa menikmati Bajaj ini. Senyum dan riang gembira hatinya menaiki kendaraan khas ibukota ini, seperti saat menaiki commuter line untuk kali pertama. sepanjang kereta melaju tidak sedikitpun terlihat kegelisan di raut muka mereka.
Halte Bus Wisata Tour City telah tiba, halte yang ada di depan Balaikota atau selatan pintu masuk Monas menjadi pilihan kami. Sudah ada beberapa orang yang berdiri menunggu kedatangan bus wisata gratis yang didambakan warga Ibukota. Tidak lama menunggu bus telah datang, rombongan penumpang turun dari dalam bus, ada juga wartawan TV yang ikut turun, mungkin habis meliput tentang bus wisata ini. Setelah penumpang yang turun dari dalam bus habis, kini giliran para penumpang yang akan naik berebut memasuki bus, lantai 2 atau atas merupakan pilihan favorit para wisatawan. Selain bisa menikmati kemegahan dari bus dengan view yang berbeda, sensasinya di atas juga menjadi daya tarik tersendiri karena tidak ada bus lain di Ibukota yang bertingkat seperti bus wisata ini. Namun sayang bus pertama yang datang ini tidak bisa mengangkut semua wisatawan yang sudah mengantri di halte termasuk saya dan keluarga. Bahkan ada seorang bapak yang disuruh turun oleh petugas bus karena tidak muat, padahal anak dan istrinya sudah terlanjur dapat tempat duduk. Tapi karena peraturan yang tidak membolehkan ada penumpang yang berdiri maka dengan terpaksa bapak ini turun dengan tetap tersenyum meskipun ada rasa kecewa karena tidak bisa bersama-sama dengan keluarga menikmati bus bertingkat yang baru ini. Bapak ini membiarkan anak dan istrinya meneruskan perjalanan dan dia akan menunggu giliran bus berikutnya. Seharusnya meskipun gratis, pengaturan penumpang harus tetap diperhatikan, misalkan ada tempat pemisahan antara tempat turun dan naik antar penumpang. Dan harusnya tetap menggunakan karcis atau tanda masuk untuk mengatur antrian wisatawan. Sehingga tidak akan terjadi rebutan dan dorong-dorongan antar penumpang atau wisatawan.
Setelah beberapa saat bus pertama berlalu, tiba lah bus kedua. Kali ini kami kebagian kursi di atas, meskipun harus bersusah payah berebut menaiki bus ini. Rute perjalanan bus wisata ini setelah start dari halte Balaikota menuju ke jalan Thamrin – Bundaran HI –Harmoni – Pasar Baru – Harmoni lagi dan kembali ke Balaikota. Kami turun di halte Monas dekat patung kuda. Kemegahan kota Jakarta sudah kami nikmati dengan bus wisata seharga 3 Milliar, rasanya sungguh berbeda jika kita nikmati dengan moda transportasi lainnya. Karena selain gratis, kenyamanan bus menjadi kenikmatan sendiri, maklum masih baru. Tetapi sayang, pemandu wisata tidak menjalankan fungsinya dengan baik, seharusnya adanya pemandu wisata bisa menjelaskan atau menerangkan apapun tentang ibukota ini, misalkan tentang sejarah monas atau hal lainnya. Mungkin akan terasa lebih bermakna bagi wisatawan khususnya wisatawan yang datang dari luar kota atau wisatawan asing. Selain itu juga bisa menambah wawasan bagi para wisatawan.
Monas Simbol Ibukota
Kini giliran menikmati keindahan Tugu Monas, ikon Ibukota yang menjadi simbol kemegahan Kota Jakarta. Setelah lelah berkeliling kami beristirahat sambil memandang keramaian wisatawan baik lokal maupun asing dari sudut taman Monas, taman yang rindang dan sejuk di tengah sumpeknya pemukiman ibukota. Kini tiba waktunya makan siang, rasanya nikmat luar biasa meskipun membawa makanan dari rumah dengan lauk seadanya. Suasana memang bisa menjadi pembeda antara makan di rumah dan di luar rumah. Kami pun makan dengan lahap nya di atas terpal yang kami beli dari pedagang keliling di Monas. Memang banyak pedagang yang menjajakan segala macam barang dagangan, mulai dari cemilan hingga mainan anak-anak. Tetapi siang itu tidak begitu ramai seperti beberapa tahun lalu saat saya bermain ke Monas. Sepertinya ada larangan untuk berdagang, meskipun ada larangan tetapi tetap saja para pedagang nekat menjajakan barang dagangannya. Namun tidak lama berselang, para pedagang ini berlari berhamburan, mereka terbirit-birit keluar dari areal monas. Mereka ketakutan sekali layaknya pencuri yang dikejar polisi. Ternyata ada polisi pamong praja (Satpol PP) yang sedang mengadakan razia atau menertibkan para pedagang. Memang seharusnya lingkungan monas harus terbebas dari para pedagang, meskipun dilain sisi terkadang kita juga membutuhkan mereka. Tetapi demi kebersihan, keamanan dan kenyamanan para wisatawan yang berkunjung mau tidak mau harus disterilkan. Karena jika ada pembiaran makin lama makin parah dan akhirnya merugikan kita semua.
Setelah selesai makan kami pun memutuskan untuk keluar dari area Monas, kami kurang tertarik untuk menaiki puncak Monas karena memang sudah lelah dan sudah pernah merasakan. Sebelum meninggalkan Monas kami berbelanja souvenir di parkir selatan atau pintu utama masuk. Di area ini selain kaos sebagai andalan souvenir, banyak juga makanan khas ibukota seperti kerak telor dan sebagainya. Tetapi kaos yang bergambarkan Monas menjadi primadona para wisatawan, dan penjual kaos ini lah yang paling mencolok dibandingkan pedagang lainnya.
Sebelum pulang kami pun menyempatkan diri dulu ke Masjid Istiqlal, selain untuk memperkenalkan anak kami berniat untuk shalat di Masjid terbesar di Indonesia ini. Kami pun memilih menaiki delman untuk menuju masjid ini. Aduh, senangnya anak-anak kami bisa menaiki kendaraan yang sudah jarang ditemukan di ibukota ini. Dengan irama sepatu kuda yang khas kami kembali menikmati Jakarta dengan suasana yang berbeda dari sudut pandang yang berbeda pula. Sesampai di Masjid kami langsung menuju area wudhu lalu menunaikan shalat zhuhur. Alhamdulillah, nikmatnya hari itu bisa menikmati suasana Ibukota dengan penuh riang gembira, dan terpenting tanpa biaya yang mahal. Dan kini saatnya pulang….commuter line dari Stasiun Juanda yahg letaknya di samping kanan Masjid Istiqlal menjadi titik tolak kepulangan kami. Tut tut tutt…naik kereta api tut tut tutttt….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H