Pernahkah anda bercita-cita membangun suatu yang bermanfaat bagi orang banyak semisal sekolah atau bahkan tempat beribadah seperti masjid dari hasil menulis? Itulah yang pernah dilakukan oleh kiai Misbach Mustofa. Jika anda pernah datang ke Bangilan, Tuban, Jawa Timur, tepatnya di komplek pesantren Al-Balagh, anda bisa melihat sebuah masjid besar yang dibangun oleh kiai Misbach Mustofa dari hasil honor menulisnya.Â
Kalau diukur dengan kurs nilai mata uang Rupiah sekarang tentu saja pembangunan masjid itu menghabiskan uang ratusan juta atau bahkan milyaran. Keren kan?Â
Bayangkan menulis bisa untuk membangun masjid. Lalu siapa sebenarnya kiai Misbach Mustofa. Beliau adalah adik kandung dari kiai Bisri Mustofa. Yang berarti juga paman dari kiai Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus.
Mungkin nama kiai Misbach memang tidak setenar kakaknya, atau bahkan keponakannya, tapi sebetulnya kalau bicara soal tulis menulis atau soal karya-karya yang pernah dihasilkan, kiai Misbach bisa jadi lebih produktif dari kiai Bisri Mustofa maupun dari Gus Mus.Â
Beliau juga bisa jadi jauh lebih produktif dari penulis-penulis Islam semasanya seperti Hamka, Ahmad Hasan. Bayangkan menurut penuturan salah seorang putranya, kiai Misbach telah menulis lebih dari 200 buku atau kitab baik berupa terjemahan dari bahasa Arab maupun karyanya sendiri.Â
Dalam setiap harinya kiai Misbach menulis sekitar 40 halaman. Saya sendiri pernah beberapa kali mewawancarai putera, gus Nafis (almarhum), di samping beberapa kali pernah menemani kawan dan kolega ketika sedang melakukan penelitian tentang kiai Misbach.
Bayangkan orang bisa menulis setiap hari rata-rata 40an halaman, luar biasa bukan? Ini yang patut dicontoh. Di sela-sela kesibukan kiai Misbach berdakwah serta mendidik dan mengajar santri beliau menulis. Tak jauh beda dengan kakaknya, lihat catatan saya di Sini ..Â
Tujuan kiai Misbach menulis selain untuk linasyril ilmi atau menyebarkan ilmu, untuk berdakwah bil qalam, ketika menulis beliau juga bertujuan untuk li kasbil ma'isyah atau mencari penghidupan.Â
Apalagi kiai Misbach orangnya tidak mau mengandalkan orang lain. Beliau juga tidak suka meminta-minta sumbangan. Bahkan meminta sumbangan dari pemerintah untuk pesantren yang diasuhnya saja tidak pernah.
Barangkali perlu juga kita ulas sedikit tentang perjalanan hidup kiai Misbach. Sama halnya dengan kiai Bisri Mustofa (lha wong kakaknya), dia juga sudah yatim sejak berumur sekitar lima tahun. Ayahnya meninggal dunia ketika sedang melakukan ibadah haji bersama sekeluarga. Ayahnya seorang saudagar sukses yang gemar bersedekah dan mencintai para ulama. Ketika itu Misbach baru berumur sekitar 5 tahun.Â
Misbach kemudian mondok di pesantren Kasingan yang diasuh oleh kiai Kholil Harun, mengikuti jejak kakaknya. Ketika nyantri dikabarkan Misbach juga sangat cerdas dan pandai dibandingkan santri-santri lain. Ia hafal kitab Alfiyah Ibnu Malik (salah satu induk dari buku/kitab tentang gramatika Arab, tapi berbentuk nadzam puisi) diusianya yang masih sangat belia.Â