Ceritanya ketika selesai menulis tafsir Al-Iklil, kiai Misbach kemudian menjual ke sebuah penerbit, di Surabaya, Al-Ihsan namanya. Namun tak tahunya, ketika diterbitkan ada beberapa bagian dari karyanya tersebut yang dilingkan secara sepihak oleh penerbit tersebut. Bagian yang dihilangkan tersebut menurut puteranya memuat tentang kritik kiai Misbach terhadap beberapa pandangan Hamka.Â
Karena merasa dicurangi hak inetelektualnya, sementara kiai Misbach sudah tidak memegang salinan dari karya tersebut, beliau kemudian menulis sebuah kitab tafsir (Al-Qur'an) lagi yang diharapkan lebih tebal dan juga memuat pandangan-pandangannya yang sempat dihilangkan oleh penerbit tadi.
Tafsir itu diberi nama Tajul Muslimin, yang berarti "mahkota bagi orang-orang Muslim", namun ketika baru sampai empat jilid kiai Misbach Mustofa kemudian wafat, tepatnya pada tanggal 07 Dzulqo'dah 1414 H atau 13 April 1994 M.
Dalam hal menulis, kutipan dari Islah Gusmian berikut tampaknya cukup bisa menggambarkan bagaimana "kesuksesan" kiai Misbach dalam dunia tersebut , "Hasil dari menulis buku tersebut, di samping untuk menghidupi keluarganya, juga digunakan untuk membangun masjid yang terletak di lingkungan pesantren al-Balagh, Bangilan, Tuban.Â
Bahkan hingga saat ini karya-karyanya yang tidak dijual kepada penerbit lain, menjadi salah satu sumber penghasilan bagi anak-anaknya, dengan cara diterbitkan dan dicetak sendiri di pesantren dan dengan cara diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia".
Sumber
Wawancara dengan Gus Mus dan Gus Nafis (alm.), 2010.
Islah Gusmian, "KH. Misbach Ibn Zainul Musthafa (1916-1994 M): Pemikir dan Penulis Teks Keagamaan dari Pesantren", dalam Jurnal Lektur Keagamaan, vol. 14, No. 1, 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H