Ketika di pilpres 2014 saya kemudian mengamati lagi manuver anda sebagai seorang politisi. Dan tanpa sengaja saya pernah membaca tulisan seorang wartawan senior di Jawa Pos, yang tulisannya hampir sama dengan apa yang saya pikirkan tentang anda.Â
Wartawan itu bernama AS Laksana, seorang yang bahkan juga pernah menjadi mahasiswa dan pernah mengagumi anda sebagai seorang intelektual dan sebagai seorang politisi. Yang mengagetkan dia mengatakan dia berhenti mengagumi anda dan menuliskan surat terbuka yang memprotes anda karena dianggap mendorong munculnya politik identitas pada pemilu 2014.
Saya kemudian melihat sebagai seorang intelektual anda kemudian terlibat terlalu jauh dan cenderung suka "bermain-main" dengan kondisi politik yang ada. Anda terus mendorong proses demokrasi ketiika itu ke dalam politik identitas yang saya anggap menjadi benih untuk menciptakan friksi-friksi di antara elemen masyarakat.
Beberapa waktu lalu saya juga membaca tulisan (catatan) seorang ibu guru, seorang nenek yang menorehkan curahan hati nuraninya. Ibu itu bernama Nursini Rais (seorang Kompasianer), yang nama terkhirnya hampir sama dengan anda.Â
Ketika terjadi peristiwa reformasi ibu itu juga merupakan pengagum berat anda, bahkan dia sampai berpikiran andalah tokoh penyelamat bangsa ini ketika terjadi remormasi. Namun sama seperti wartawan yang saya sebut tadi ibu itu belakangan juga menjadi kecewa sebab menuver-manuver politik yang anda lakukan beberapa tahun terakhir. Bahkan dengan lantang ibu itu menulis "Pak Amin Rais Anda Saya Copot".
Sebagai seorang rakyat biasa, dan mungkin (kalau dianggap) sebagai seorang insan kampus, jujur kadang saya lebih mengharapkan anda menjadi seorang intelektual sejati, menjadi akademisi, menjadi seorang profesor yang justru mengayomi dengan pandangan-pandangannya menyejukkan dari pada bertahan menjadi politisi seperti sekarang ini.Â
Apalagi gelar guru bangsa pernah disematkan kepada anda. Sebagai mantan ketua umum Muhammadiyah pula, sebuah organisasi Islam yang disegani, saya juga lebih suka melihat anda sebagai orang tua yang bijak.Â
Prof Syafi'i Ma'arif, yang merupakan rekan anda di Muhammadiyah mungkin bagi saya adalah contoh tepat sebagai tokoh yang bisa menempatkan dirinya sebagai seorang "bapak" di tengah kekisruhan politik yang ada. Maka saya pun tak keberatan jika orang-orang memanggilnya Buya.
Belakangan saya justru melihat anda (mohon maaf) terlalu banyak khilafnya, entah itu anda sadari atau tidak. Sebelum pemilu 17 April kemaren dilaksanakan misalnya, anda justru malah sudah mewacanakan adanya people power.Â
Apakah anda ingin mengulangi keberhasilan anda mendorong proses reformasi 98, padahal untuk konteks yang berbeda?. Saya juga mendengar wacana-wacana tentang perang badar, perang melawan kedzaliman dan lain sebagainya yang juga anda gulirkan.Â
Apakah anda tidak menyadari di kubu yang bersebelahan dengan anda juga banyak umat Islam? Apakah anda menginginkan terjadi friksi yang semakin tebal di antara sesama anak bangsa? Saya yakin, sebagai seorang intelektual, dan seorang Muslim yang benar anda tidak menginginkan hal itu.