Mohon tunggu...
Muhammad Asif
Muhammad Asif Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and reseacher

Dosen dan peneliti. Meminati studi-studi tentang sejarah, manuskrip, serta Islam di Indonesia secara luas.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Populisme Islam dan Politisasi Agama (Islam) di Indonesia

24 Februari 2019   14:36 Diperbarui: 3 Maret 2019   19:44 1902
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puncaknya, pasca Arab Spring Ikhwanul Muslimin berhasil tampil dan menjadi wadah perjuangan aliansi antar kelas dan berhasil menumbangkan Husni Mubarok. Namun kemudian ketika Ikhwanul Muslimin berhasil memegang tampuk kekuasaan dengan Mursi sebagai presiden, mereka dianggap lebih mementingkan kepentingan ideologi dan kelompoknya daripada kepentingan nasional Mesir. Bahkan Al-Azhar yang dalam tradisi Mesir menjadi otoritas keagamaan paling diakui tampak dipinggirkan oleh Ikhwan dalam peran-peran keagamaannya. Itulah barangkali ketika pemerintahan Ikhwan yang baru berumur pendek digulingkan oleh militer, pihak-pihak seperti Al-Azhar tampak tinggal diam.

Populisme Islam di Indonesia 

Di Indonesia kasus Ahok yang mencuat pada 2016 dan Pilkada DKI Jakarta pada 2016 bisa dilihat dalam konteks populisme Islam. Kasus Ahok dan Pilkada DKI menunjukkan bahwa beberapa organisasi Islam menjadi tunggangan dalam menyatukan berbagai visi-misi politik banyak kelompok. Gerakan 212 yang berkolaborasi dengan partai politik menggunakan tiga isu krusial yang menjadi bahan bakar memobilisasi massa: China (etnis Tionghoa), penista agama dan kafir.

Gerakan yang merupakan kolaborasi dari para tokoh politik, para pengusaha besar dan kecil, kelompok masyarakat yang merasa agamanya dihina, atau bahkan khalayak yang sekedar ingin terlibat dan ingin tahu. Mereka mengusung satu kepentingan: menjatuhkan Ahok dari kontestasi Pilkada 2017. Tokoh seperti Mbah Moen sebetulnya sejak awal sudah beberapa kali mengingatkan agar jangan membesar-besarkan dan mempolitisasi masalah Ahok. Tentang masalah ini pernah saya singgung pada tulisan saya sebelumnya di sini. Hal yang sama tampaknya juga dilakukan oleh cendekiawan Muhammadiyah, Prof. Syafi'i Maarif. Demikian pula para ulama muda yang tergabung dalam GP Ansor misalnya waktu itu sempat mengeluarkan fatwa menyusul kasus tidak salatkannya seorang warga --Muslim---di Jakarta hanya lantaran dianggap sebagai pendukung Ahok. Hal ini juga bisa kita lihat sebagai upaya untuk meletakkan masalah Ahok pada tempat yang semestinya dan menghindari politisasi agama.

Mereka pun memanfaatkan media sosial untuk mensosialisasikan agenda-agenda politiknya, misalnya melalui What's App. Anehnya gerakan ini tidak hanya berhenti pada penjatuhan Ahok, tetapi juga memiliki agenda berikutnya. Melalui beberapa issu yang digulirkan seperti: tidak berpihak kepada Islam, kriminalisasi ulama, kecenderungan rezim membela penista agama, mereka melanjutkan agenda untuk mencapai tujuan politik selanjutnya: menjatuhkan presiden Joko Widodo menggagalkannya untuk menang pada Pilres 2019. Isu tersebut tampaknya juga digunakan untuk meraup suara bagi partai-partai pendukung Prabowo untuk mendulang suara menjelang pemilu 2019. 

img-20171031-wa0058-5c7bcaf66ddcae44023f0422.jpg
img-20171031-wa0058-5c7bcaf66ddcae44023f0422.jpg
                                                                                                         Gambar diambil dari tulisan Garadian

Isu tersebut belakangan ditambah lagi dengan beberapa isu misalnya semakin melaratnya rakyat kecil, diserbunya Indonesia oleh ratusan ribu atau bahkan juta tenaga kerja asing (China) dan lain sebagainya.

Ijtima' ulama yang dikoordinasi oleh gerakan 212, yang kemudian menetapkan Prabowo sebagai calon presiden menandai fase penting selanjutnya dari populisme Islam di Indonesia. Padahal Ijtima' ulama yang kemudian melahirkan ijma' (konsesus para ulama dalam memandang suatu hukum dalam suatu persoalan---akan memiliki implikasi yang serius dalam hukum Islam: kewajiban masyarakat muslim untuk menaatinya. Bahkan ijma' dalam hukum Islam menempati posisi ketiga dalam hierarki sumber hukum Islam, setelah Al-Qur'an dan hadis Nabi. Namun sepertinya ijtima' ulama dalam kasus ini justru dipolitisir untuk mencapai untuk mencapai tujuan politik tertentu. Demikian pula para ulama otoritatif sekelas kiai Maemoen Zubeir, Prof. Quraish Shihab, Gus Mus, Habib Lutfi, TGB, Prof. Nasaruddin Umar, Dr. Abdul Ghofur Maemoen---untuk menyebut beberapa saja---justru tidak hadir dan tidak memberikan dukungan kearah sana.

Menurut studi yang dilakukan Vedi di atas dalam gerakan populisme Islam motivasi kepentingan kelompok justru lebih bisa melahirkan kekuatan politik Islam dari pada ideologi atau bahkan ajaran agama itu sendiri. Pada kenyataannya gerakan 212 tidak hanya berhenti pada titik penjatuhan Ahok dan agenda menumbangkan presiden pada pemilu 2012 tapi di sisi lain mereka juga membangun kekuatan-keuatan ekonomi melalu pendirian minimarket-minimarket, koperasi dan bentuk-bentuk usaha lain dengan menarik dana dari masyarakat muslim.

Sumber bacaan

-Azyumardi Azra, Populisme Islam (1), Republika, 28 Desember 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun