Mohon tunggu...
Muhammad Asif
Muhammad Asif Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and reseacher

Dosen dan peneliti. Meminati studi-studi tentang sejarah, manuskrip, serta Islam di Indonesia secara luas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Seorang Perempuan TKI di Arab Saudi dan Nasib Anak yang Ditinggalkannya

15 Februari 2019   22:01 Diperbarui: 15 Februari 2019   22:19 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

catatan seorang mahasiswa (bagian 1)

Cerita ini sudah lama sekali berlalu. Saya mendapatinya akhir tahun 2012 lalu. Tapi mudah-mudahan bisa kita ambil pelajaran darinya.

Saat itu saya bersama seorang teman, tepatnya seorang mahasiswa, Hasan namanya berkunjung ke Kebumen, sebuah kota di bagian ujung selatan Jawa Tengah. Saya waktu itu berniat "mengetuk pintu" ke rumah orang tua seorang perempuan yang kini jadi istriku.

Ya sebelum melamar biasanya seorang laki-laki harus melakukan "ketuk pintu", meminta ijin kepada orang tua pihak merempuan yang akan dipinang.

Saya pagi-pagi berangkat bersama Hasan dari Solo menuju ke Kebumen. Naik motor. Waktu itu saya sebetulnya sudah mengajar di sebuah perguruan tinggi negeri keagamaan di Surakarta, IAIN sebagai dosen tidak tetap alias dosen luar biasa (DLB). Sementara Hasan yang saya ajak kebutulan adalah berasal dari sana. Atau tepatnya orang  berasal dari sana, namun kemudian pindah ke Lampung.

Ia sendiri sejak kecil juga sekolah di Kebumen. Jadi dia saya anggap paham dengan daerah tersebut. Saya sendiri belum pernah ke Kebumen sama sekali. Dan tidak tahu menahu daerah tersebut. Saya nekat ke sana dan hanya berbekal keyakinan bahwa perempuan itu akan jadi jodohku.

Saya pun sudah memutuskan untuk mengakhiri  masa lajangku. Itu saja. Aku bahkan tak tahu rumahnya. Ia hanya memberi sebuah alamat. Kami mungkin tidak berpacaran, tatapi saling kenal dan beberapa kali saling kontak lewat telepon. Dia sebelumnya pernah kuliah di Universitas Sebelas Maret (UNS) jurusan pendidikan Matematika sambil menghafal al-Qur'an di masjid agung Surakarta.

Namun kemudian tak betah dan pindah kuliah dan di kampus baru itulah kami bertemu. Terakhir dia mengirim pesan begini, "jika memang berniat baik, dan genlement silakan datang ke rumah. Temui orang tuaku". Dan itu menjadi bekal saya untuk datang ke rumahnya, setelah sebelumnya saya sampaikan ke dia akan ke rumahnya tanggal sekian.

Aku sampai rumah dia waktu itu sekitar pukul 10.00an siang. Rumahnya berada di daerah kecamatan Alian, namun berbatasan dengan Kebumen kota.

Ayahnya ternyata seorang pengasuh pondok pesantren di desanya. Saya sebelumnya bisa sampai ke rumahnya setelah sebelumnya dijemput dan ditunjukkan arah oleh seorang santri atau tepatnya ustaz yang menjadi kepercayaan keluarganya. Saya agak grogi dan entahlah.

Saya baru pertama kali ini ke sana dan tiba-tiba ingin meminang puterinya. Tapi saya disambut dengan baik oleh bapak ibunya. Dan mereka kemudian memberi isyarat jika saya memang berniat baik, saya diminta untuk melanjutkan ke tahap-tahap selanjutnya.

Selepas dari alian saya diajak Hasan menuju ke arah Petanahan, sebuah daerah di bagian selatan kebumen, daerah garis pantai laut selatan. Rencananya kami akan menginap di sana, di rumah paman Hasan. Kami pun akhirnya sampai di petanahan setelah melakukan perjalanan kurang lebih setengah jam.

Sebuah desa yang masih sangat alami. Tapi asri.  Di sepanjang jalan masuk ke desa paman Hasan terdapat pohon kelapa di setiap sisi, di kanan dan kiri. Sempat pula terbersit pertanyaan bernada heran, "orang kalau lewat kok tidak takut kejatuhan kelapa", kalau ada buah atau tangkai kelapa yang misalnya tiba-tiba jatuh dan menimpa orang yang lewat. Saya sampai di rumah paman Hasan , dan diperkenalkan dengan pamannya.

Rumahnya sederhana. Pamannya bekerja sebagai pedagang kecil di pasar. Paman Hasan punya dua anak laki-laki dan perempuan. Masih kecil-kecil yang pertama perempuan masih berada di bangku sekolah dasar. Sedangkan adiknya berumur sekitar 3 atau 4 tahun.

Sore harinya ketika kami bersantai di pelataran rumah. Memandangi pemandangan hijau, melihat-lihat pohon kelapa yang menjulang tinggi dengan buahnya yang menggerombol. Tak jauh dari kami, keponakan Hasan sedang bermain dengan dua anak yang merupakan tetangga dekat rumahnya. Satunya perempuan usia antara 5 sampai 6 tahun satu lagi seorang anak laki-laki mungkin umurnya antara dua sampai tiga tahun. Kisah dua anak inilah yang sebtulnya ingin saya ceritakan.

Melihat ada anak-anak kecil yang bermain-main tak jauh dari saja, saya mengambil beberapa coklat yang saya simpan di saku. Saya kasihkan ke dua keponakan Hasan dan dua anak tadi.

Dua keponakan Hasan langsung mau menerimanya dengan girang. Namun keanehan terjadi ketika saya hendak menawarkan ke anak laki-laki yang berumur dua atau tiga tahun tadi. Dia tidak menerima coklat yang saya tawarkan padanya.

Saya lihat bukan karena tidak mau. Tapi saya lihat seperti ada semacam ketakutan dari anak kecil ini untuk sekedar menerima kebaikan dari orang lain. Anak kecil itu juga kelihatan sangat peminder.

Ya saya memang bukan seorang psikolog, tapi ketika kuliah dulu saya cukup sering membaca buku-buku psikologi, termasuk psikologi perkembangan, psikologi klinis dan lain sebagainya. Saya merasa menemukan sesuatu yang aneh.

Anak umur segitu diberi sesuatu oleh orang, tidak mau menerima tapi malah seperti ketakutan. Dia seperti tidak berani hanya untuk menerima kebaikan dari seseorang. Saya simpan rasa penasaran itu. Sampai akhirnya di malam hari saya kemudian bertanya ke Hasan, tentang keluarga si anak kecil tadi.

Anak kecil itu rumahnya tak jauh dari rumah paman Hasan, di depannya berjarak sekitar 25 meter. Ternyata anak itu tinggal bersama ayahnya dan kakaknya yang berusia 5-6 tahun tadi. Ibunya menjadi TKI di Arab Saudi. Menurut cerita yang saya terima, ayah mereka tidak bekerja.

Mungkin itu yang memaksa istrinya untuk mencari nafkah dan pergi ke Saudi. Kabarnya  si lelaki suka mabuk-mabukkan dan main judi. Istrinya membanting tulang dan setiap kali mengirimi uang dari Saudi, namun justru sering dibuat mabuk-mabukan dan main judi oleh suaminya.

Saya pun tak habis pikir pantaskah orang seperti itu disebut lelaki. Memang orangnya berpenampilan lumayan kekar dan agak sangar. Tapi seperti itukah yang disebut lelaki? Orang yang hanya bisa mengandalkan nafkah kiriman dari istrinya yang justru dibiarkan pergi keluar negeri dan membanting tulang di sana. Saya sebelum berumah tangga seperti mendapat pelajaran yang sangat berharga dari cerita ini.

Pagi hari berikutnya, ketika saya nyantai di pelataran rumah paman Hasan, sebelum mau berangkat ke pantai saya di kejutkan oleh pemandangan yang cukup mengagetkan. Ada suara tangisan anak kecil. Ya tangisan anak kecil yang saya ceritakan tadi. suaranya cukup keras.

Pada saat bersamaan ada suara orang membentak-mentak. Ya itu ayahnya. Kemudian si ayah tampak keluar dan menenteng tepatnya menyeret anaknya keluar.

Sambil membentak-bentak anak kecil itu ditendanginya. Saya tidak begitu paham bahasa ngapak Kebumen, tapi saya tahu si ayah membentak dan memarahi anak kecil itu. Entah apa masalahnya. Saya tak tega melihat anak umur segitu dibentak-bentak dan ditendangi ayahnya.

Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya di sini hanya mampir, bahkan tak kenal orang itu.

Mau berbuat sesuatu takutnya dianggap ikut campur urusan orang.  Beberapa lama kemudian si ayah mengajak si anak untuk muter-muter naik motor. Mungkin itu cara satu-satunya lelaki itu menghibur anaknya setelah sebelumnya dibentak-bentak dan ditendanginya. Dan sepertinya itu yang biasanya dilakukannya.

Peristiwa itu jadi pelajaran penting setidaknya untuk diri saya sendiri. Ingatan saya tentang peristiwa itu juga seperti masih terekam dengan baik hingga saat ini.

Anak seumur itu, sudah jauh dari ibunya, tapi sering diperlakukan secara kasar oleh ayahnya lagi. Saya pun kemudian bisa memahami peristiwa yang sehari sebelumnya terjadi: kenapa anak itu untuk sekedar menerima kebaikan dari orang lain saja dia justru takut.

Padahal usia-usia segitu, usia 1-5 tahun sering dikatakan sebagai usia emas untuk perkembangan anak. Usia terbaik untuk perkembangan psikologis dan kecerdasan seorang anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun