Mohon tunggu...
Muhammad Asif
Muhammad Asif Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and reseacher

Dosen dan peneliti. Meminati studi-studi tentang sejarah, manuskrip, serta Islam di Indonesia secara luas.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Fadli Zon, Mbah Moen, dan Polarisasi Pemilih Modernis Vis a Vis Tradisional?

10 Februari 2019   09:21 Diperbarui: 10 Februari 2019   09:54 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam peta kajian Islam di Indonesia, gerakan atau oragnisasi Islam secara umum dibagi menjadi dua, modernis/reformis dan tradisional. 

Istilah modernisme biasanya disebut juga reformisme atau puritanisme, mangacu pada sebuah paradigma dalam Islam yang menganggap bahwa umat Islam dalam perkembangan sejarahnya telah melenceng dari ajaran Islam yang sejati dan hanya dengan mengembalikan mereka ke jalan yang benar, mereka dapat diterima oleh Tuhan. 

Menurut Khaled Abou el-Fadl (2005) paradigma ini dibangun oleh Muhammad bin Abdullah Wahhab (w. 1206 H/ 1792 M) melalui ajaran Wahabinya. Meskipun pada perkembangannya paradigma ini juga memunculkan berbagai varian turunan seperti Salafisme, Islamisme.  

Sementara tradisionalisme menurut Zamakhsary Dhofier mengacu pada Islam yang masih terikat oleh otoritas para  ulama baik di bidang hukum Islam --dengan menganut salah satu dari madzhab fikih 4: Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali --, teologi Sunni, serta mau menerima tasawuf (mistisme Islam) menjadi bagian dari ajaran Islam. Di Indonesia Islam tradisional biasanya dicirikan dengan pesantren, pengajaran kitab kuning, serta tarekat.

Puisi Fadli Zon yang diunggah beberapa hari lalu membuat heboh media sosial kita. Puisi itu dituduh merendahkan kiai Maemoen Zubair atau mbah Moen, seorang ulama yang dihormati di kalangan pesantren dan muslim tradisional. Jika dianalisis secara semantik dan semiotik tampaknya memang puisi itu mengarah ke mbah Moen. 

Meskipun pun Fadli bisa berkilah tapi, ada satu kata yang tidak hanya dipermasalahkan oleh warga NU, tetapi bahkan oleh keluarga kiai Maimoen. Taj Yasin Maemoen, salah seorang putra kiai Maemoen dan juga wakil gubernur Jawa Tengah, misalnya mempermaslahkan satu frase dari puisi Fadli, "doa sakral kenapa kau tukar". 

Menurut Taj Yasin (sering disapa Gus Yasin) dalam beberapa wawancara di beberapa statiun televisi swasta (di Kompas TV, dan Metro TV) frase tersebut cenderung merendahkan maqam/derajat kiai yang seolah bisa didekte oleh orang lain. Bahkan Gus Yasin mengatakan Fadli memelintir doa kiai Maemoen, yang menurutnya tak bisa didekte.

Puisi Fadli tersebut menambah panjang daftar  panjang polemik kubu Prabowo dangan warga NU setelah sebelumnya Sandiaga Uno, ketika berziarah ke Jombang dengan gontainya melangkahi makam kiai Wahab Hasbullah yang merupakan salah satu pendiri NU. 

Masyarakat NU, terutama di Jawa Timur mengecam keras perbuatan tersebut. Bupati Jombang pun turut bereaksi menyikapi peristiwa tersebut.

Pemilu 2019 ini menurut saya, entah disengaja ataupun tidak, kedua calon tampaknya ingin mempolariasi pemilih muslim. Kenapa pemilih Muslim? Jawabnya tentu saja, kita tahu masyarakat indonesia mayoritas adalah Muslim, meskipun tanpa menafikan keberadaan kelompok agama lain. 80% lebih warga negara Indonesia beragama Islam. 

Siapa yang bisa meraih pemilih muslim terbanyak, peluang besar dia yang akan memenangkan kontestasi. Kubu Prabowo sejak awal didukung oleh partai-partai yang berbasis pemilih muslim modernis/ puritan seperti PKS yang memiliki basis massa kelompok tarbiyyah dan PAN (Partai Amanat Nasional) yang memiliki basis massa warga Muhammadiyah yang merupakan organisasi muslim modernis terbesar di Indonesia. 

Muhammadiyah sendiri secara ideologis lebih dekat dengan Salafisme. Demikian pula orang-orang dekat dan tokoh-tokoh yang mendukung Prabowo, sebagian besar adalah orang modernis. Kita sebut saja misalnya Fadli yang merupakan orang terkedat Prabowo, ketika masih mahasiswa ia adalah seorang aktifis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang beraliran modernis. 

Demikian pula Fahri Hamzah, ia adalah mantan ketua umum KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) yang secara ideologis dekat dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Prabowo sendiri juga demikian, sejak ketika era Soeharto ia dikenal sebagai "jenderal hijau" yang dekat dengan kelompok modernis. 

Nama-nama seperti Amin Rais, Hidayat Nur Wahid, jelas merupakan tokoh-tokoh modernis yang berpengaruh penting bagi kubu Prabowo. Meskipun kubu ini juga didukung oleh Habib Rizieq dan Ustadz Abdul Shomad yang ebrlatar belakang tradisional, tapi peran mereka dalam persoalan politik saya kira tidak begitu signifaikan. 

Kubu ini juga tidak hanya didukung oleh kelompok modernis tapi juga kelompok Islamis yang memang secara idelogi lebih dekat dengan mereka. 

Istilah Islamisme mengacu pada Oliver Roy di sini mengacu pada gerakan yang menjadikan agama (Islam, sesuai dengan interpretasinya) sebagai rujukan untuk mencapai tujuan-tujuan politis. Dalam hal ini PKS (Partai Keadilan Sejahtrea) dan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)  masuk dalam kategori ini. 

Para aktifis HTI tampaknya mendukung kubu ini. Para tokoh HTI seperti Al-Khaththat, Ismail Yustanto, tampak terlibat dalam berbagai aksi yang dilakukan oleh gerakan 212. Bendera HTI juga sering kali terlihat dalam berbagai aksi gerakan tersebut. 

Demikian pula Ijtima' ulama yang dikoordinasi oleh gerakan 212 yang akhirnya menetapkan memilih Prabowo sebetulnya juga lebih dekat dengan ijtima' kelompok modernis. Peserta ijtima' ini jelas didominasi oleh kelompok modernis. 

Pada kenyataannya ulama-ulama terkemuka seperti kiai Maimoen Zubair, Prof. Qurais Shihab, kiai Mustofa Bisri, Habib Lutfi, Habib Syech bin Abdul Qodir, TGB (Tuan Guru Bajang), --untuk hanya menyebut beberapa saja---tidak hadir dan tampaknya juga tidak mendukung langkah tersebut.

Sementara kubu Jokowi tampaknya lebih dekat ke kelompok muslim tradisional. Selain didukung oleh partai-partai yang memiliki basis pemilih muslim tradisional seperti PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Jokowi mengambil KH. Ma'ruf Amin sebagai wakilnya. 

Seperti yang kita tahu kiai Ma'ruf Amin adalah Rais Am PBNU, organisasi muslim tradisional terbesar di Idonesia. Dukungan kiai Maemoen yang diberikan kepada Jokowi semakin mengokohkan arah gerbong muslim tradisional. 

Di luar parpol kubu ini juga didukung oleh tokoh-tokoh seperti Yeni Wahid yang merupakan puteri Gus Dur, Tuan Guru Bajang (TGB) yang merupakan ketua umum Nahdlatul Wathan, sebuah orgnisasi muslim yang juga tradisional. 

Selain sebagai ketua umum Nahdlotul Wathan, TGB juga merupakan ketua umum ikatan alumni universitas Al-Azhar Mesir. Kemaren (8/2) TGB dalam postingan Instagramnyajuga mengklaim bahwa Yusuf Mansur juga mendukung Jokowi. Jika klaim ini benar, maka ini akan semakin menguatkan gerbong muslim tradisional ke pihak Jokowi.  

Meskipun NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah secara organisasi tidak berpolitik praktis dan tidak menyatakan mendukung calon tertentu, tapi polarisasi ini sulit dihindari. Di masyarakat NU dan pesantren misalnya akhir---akhir ini beredar kasak-kusuk "jika Prabowo terpilih habislah kita. Jika Prabowo terpilih pasti pesantren (NU) akan dipinggirkan". Jika dilihat secara historis kekahwatiran seperti sebetulnya ini juga beralasan. 

Selama Soeharto berkuasa selama tiga puluh tahun misalnya, masyarakat NU cenderung dipinggirkan. Soeharto dalam kebikan-kebijakannya dianggap lebih berpihak kepada kelompok modernis seperti Muhammadiyah. Apalagi kubu Prabowo didukung oleh orang-orang modernis atau bahkan Islamis yang menurut Nakamura tak jarang sering kali merasa benar sendiri. 

Istilah yang dimunculkan Amin Rais "Hizbus syaithon" atau "partai setan" yang ditujukan kepada partai pendukung Jokowi setidaknya menunjukkan hal tersebut. Sikap merasa benar sendiri dan cenderung tidak menerima perbedaan dari pihak-pihak modernis seperti ini pula yang tampaknya membuat kelompok tradisonal kurang nyaman. 

Polemik yang panjang dalam sejarah Indonesia antara muslim modernis dan muslim tradisional, meskipun menjelang era reformasi mulai mereda, saya yakin juga menjadi rujukan mereka dalam mengambil sikap politiknya. 

Kasus Sandi yang saya sebut di atas ditambahkan lagi puisi Fadli yang dianggap merendahkan kiai Maemoen akan semakin menegaskan pandangan muslim tradisional. Setidaknya ini menunjukkan kubu Prabowo tidak memahami dunia Islam tradisional dengan baik.

Sebaliknya di kalangan kelompok modernis juga demikian. Di kalangan modernis juga beredar issu yang sealiknya. Selama Jokowi memerintah mereka merasa kelompok tradisional seperti NU yang lebih banyak diuntungkan. Di akar rumput masyarakat Muhammadiyah dan kelompok modernis lain misalnya kita bisa merasakan slentingan-slentingan tersebut. 

Meski ada beberapa menteri Jokowi yang diambil dari Muhammadiyah tapi itu tampkanya belum cukup bisa meredam kegelisahan tersebut. Bahkan belakangan Ali ketika Mochtar Ngabalin dan Yusril Ihza Mahendra yang juga berlatar belakang modernis, masuk dalam tim kubu Jokowi, tampaknya tidak cukup berpengaruh di kalangan kelompok modernis.  

Demikian pula di kalangan kelompok islamis seperti PKS dan HTI. PKS misalnya dalam 4 tahun roda pemerintahan selalu mengambil sikap berseberangan dengan pemerintah. Pun dengan HTI yang bahkan dibubarkan oleh pemerintahan Jokowi. 

Di pilpes 2019 kelompok Islamis saya kira akan bertarung "mati-matian" untuk bisa memenangkan kubu Prabowo karena akan terkait dengan eksistensi dan kepentingan-kepentingan mereka secara politis maupun ideologi keagamaan ke depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun