Untuk menyebut beberapa saja misalnya Syekh Romadhon al-Bhuti, seorang ulama terkemuka dari Suriah, Syekh Taisir dan syekh Rojab Dib dari Uni Emirat Arab, syekh Yusri dari Mesir dan lain sebagainya. Belakangan mantan rektor Universitas Al-Azhar Mesir, Prof. Dr. Ibrahim Salah as-Sayyid Sulayman al-Hudhud mengunjungi mbah Moen pada 19 Desember lalu. Ada pemandangan menarik ketika syech Ibrahim bertemu mbah Moen. Syech Ibrahim mencium tangan mbah Moen dengan penuh takzhim.
Ada sebuah cerita yang menunjukkan kerendah hati keduanya. Pada saat Muktamar NU ke-33 di Jombang pada awal Agustus 2015. Mbah Moen yang merupakan sesepuh di kalangan NU ketika itu justru memilih duduk di barisan kedua, di barisan pertama diisi oleh para pemimpin NU, presiden dan para pejabat.
Gus Mus, yang ketika itu menjabat sebagai Rais Am --menggantikan kyai Sahal Mahfud yang meninggal pada 2014-- pun mempersilakan Mbah Moen agar duduk di barisan pertama. Namun mbah Moen tidak menghendaiknya.Â
Sebagian besar peserta Muktamar sebetulnya menginginkan agar Gus Mus dipilih sebagai Rais Am, pemimpin tertinggi dalam hierarki kepemimpinan NU. Demikian pula mbah Moen. Jika mau maju jelas Gus Mus merupakan kandidat yang terkuat.Â
Apalagi didukung mbah Moen. Namun Gus Mus tetap bersikukuh tidak mau. Tidak juga memberi alasan yang jelas. Akhirnya karena Gus Mus tidak bersedia, dipilihlah kiai Ma'ruf Amin. Namun hingga kini banyak peserta muktamar dan juga warga Nahdliyyin banyak yang bertanya-tanya kenapa Gus Mus tidak mau maju. Sayang juga Gus Mus tidak mau memberikan alasannya.
Baru belakangan ketika mengisi stadium general atau kuliah umum di pesantren Al-Anwar 3 pada akhir 2018 Gus Mus memberi tahu alasannya, ketika Dr. Abdul Ghofur Maimoen (Gus Ghofur, salah satu putera kiai Maimoen) menanyakan alasannya kenapa tidak bersedia menjabat sebagai Rais Am PBNU. "Karena ada kiai Maimoen. Ada orang yang lebih tua, lebih alim...bisa celaka saya nanti...". Jawab Gus Mus.Â
Dengan mimik serius. Terjawab sudah rasa penasaran warga Nahdliyyin. Gus Mus tidak bersedia jadi Rais Am PBNU karena satu alasan: ada seorang yang dianggapnya lebih alim, yaitu kiai Maimoen. Padahal Gus Mus secara hierarki keluarga di pesantren Sarang sebetulnya lebih tua.Â
Secara nasab keluarga Gus Mus adalah paman kiai Maimoen. Sebaliknya kiai Maimoen sejak awal dalam beberapa kesempatan menyebut Gus Mus sebagai pamannya. Bahkan kiai Maimoen disebut sering menekankan kepada putra-putra dan santrinya untuk menghormati Gus Mus karena sebagai pamannya. Demikianlah contoh bagaimana dua orang tokoh saling merendahkan hati satu sama lain. Padahal sama-sama tokoh berpengaruh.
Contoh lain ketawadhdhu'an (kerendahan hati) Kiai Maemoen misalnya ketika beberapa waktu lalu syech Dr. Abdun Nashir, dari Maliabar mengunjunginya, kiai Maemoen dengan rendah hati mengatakan beberapa hal: (bagain ini saya kutip dari postingan Nanal Ainal Fauz, 6 Februari 2019).
- Thaala umuriy, wa qalla amaly (umurku panjang, tapi amalku sangat sedikit)
- Umury fawqa at-tis'in, ud'u liy an amuta ala dini al-Islam (Umurku sudah lebih 90 tahu. Tolong doakan agar saya meninggal dalam keadaan membawa agama Islam
- Antum shohibul mu'allifat, wa ana maa 'indiy ta'lifaat (Anda adalah orang yang banyak karangannya, sedangkan saya tidak punya karya sama sekali)
Jika kita perhatikan ungkapan-ungkapan tersebut merupakan bentuk kerendah hatian seseorang, dalam hal ini kiai Maemon. Jika dikuantifikasi untuk pernyataan nomor satu saja misalnya. Santrinya kiai Maimoen berjumlah ribuan.Â
Mereka dari yang awalnya tidak bisa bahasa Arab tidak bisa membaca kitab gundul berbahasa Arab, kemudian menjadi mahir, jadi alim. Entah berapa banyak pula santri yang awalnya nakal, bandel menjadi seorang yang saleh. Bahkan tak sedikit yang kemudian menjadi kiai dengan santri ribuan juga.