Yusril Ihza Mahendara pada 19 Januari mengatakan bahwa ustadz Abu Bakar Ba'asyir, tepidana kasus terorisme, akan dibebaskan oleh pemerintah secara tak bersyarat.
 Kemudian Presiden Jokowi seperti dilansir oleh detik.com, 22 Januari, mengeluarkan penytaan bahwa pembasan Abu Bakar Ba'asyir bersyarat, yaitu setia kepada NKRI.  Hal ini tampaknya menanggapi pernyataan Yusril Ihza Mahendra yang sebelumnya mengatakan bahwa Ba'asyir akan dibebaskan tanpa syarat.Â
Sementara Mahfud MD, kemudian menanggapi polemik itu, dengan mengatakan bahwa pembebasan Abu Bakar Ba'asyir sejak awal salah prosedur (Liputan6.com, 26 Januari).Â
Berbagai polemik pun muncul, misalnya dari sudut pandang hukum, apakah persoalan itu bertentangan dengan hukum atau tidak. Namun yang jelas akhirnya ustadz Abu --demikian santri-santri di pesantren Al-Mukmin, Ngruki menyebutnya--, tak jadi dibebaskan. Namun penulis di sini tak akan mengulas tentang persoalan tersebut. Saya bukanlah seorang ahli hukum yang bisa melihat persoalan itu dari perspektif hukum. Saya akan melihatnya dari sudut pandang lain.
Saya pernah tinggal di Solo--kota dimana Ba'asyir tinggal--, cukup lama, setidaknya 8 tahun. Saya sering berinteraksi dengan cukup banyak alumni pesantren Ngruki yang tentu saja dulu muridnya Ba'asyir.Â
Saya tentu saja juga mengamati bagaimana pandangan masyarakat Muslim di sana, terutama kelompok reformis/ atau puritan--yang merupakan kelompok mayoritas atau setidaknya merekalah yang menguasai ruang-ruang publik di Solo, bahkan menurut Riclef, NU dan Muhammadiyah yang merupakan organisasi Islam terbesar pun tidak cukup bisa berperan di sana--memandang Ba'asyir. Ba'asyir jelas orang yang sangat dihormati di sana. Ia memiliki banyak pengikut dan simpatisan, selain tentu saja santri-santrinya di pesantren Ngruki.Â
Ba'asyir juga memiliki rekam jejak 'perjuangan yang panjang, mulai dari melarikan diri ke Malaysia bersama Abdullah Sungkar karena menolak asas tunggal yang diberlakukan oleh presiden Soeharto terhadap semua organisasi, ikut bergabung dan menjadi salah satu tokoh JI (Jam'ah Islamiyah) yang merupakan organisasi teroris paling 'disegani' di Asia Tenggara, mengirimkan  para mujahid ke Afganistan, mendirikan Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), hingga akhirnya dimasukkan ke penjara atas tuduhan terorisme.Â
Hingga sekarang ia telah menjalani  9 tahun dipenjara dari total 15 tahun yang dibebankan kepadanya. Ba'asyir pun usianya sudah tua, dan atas  dasar alasan kemanusian ada baiknya kalau dia dibebaskan. Saya yakin ia sudah tua renta, energinya sudah tidak seperti dulu, saya pun yakin kalaupun dibebaskan dia tidak akan lagi memimpin atau mengorganisir kegiatan-kegiatan yang membahayakan orang.Â
Yang mungkin adalah dia menjadi seorang  ideolog. Namun jika dia tidak dibebaskan, apalagi kalau sampai kelak meninggal di penjara, justru Ba'asyir akan menjadi martir, akan menjadi simbol perjuangan "jihad" terhadap penguasa yang dianggap zalim. Dia justru akan selalu dikenang dan menjadi alasan bagi para pengikut dan simpatisannya untuk terus "berjihad".
Belajar dari Kasus Nasir Abbas
Saya mencoba mengingat kembali kisah ini. Kisah ini dituturkan oleh si pelaku, Nasir Abbas, mantan komandan Jama'ah Islamiyah, dalam sebuah telekonferen tentang perdamaian yang dislenggarakan di Solo dan Ambon dalam waktu bersamaan. Di Solo dihadiri oleh mantan pemimpin laskar Jihad, Ja'far Umar Thalib, sedangkan di Ambon dihadiri oleh Nasir Abbas. Acara itu dilaksanakan pada 2009. Dalam telekonferen itu Nasir Abbas menceritakan alasan dia kembali "bertaubat".Â
Suatu ketika dalam sebuah aksi penggrebekan oleh polisi, dia ditanggap. Diapun diborgol dan dibawa. Di tengah perjalanan dia kemudian merencanakan sesuatu.Â
Daripada harus dipenjara oleh polisi, lebih baik mati syahid. Apalagi polisi baginya adalah thoghut, musuh Tuhan. Jika dia mati melawan dan ditembak polisi dia akan mati syahid dan akan masuk surga. Begitu keyakinannya. Dia pun kemudian mengambil pistol seorang polisi yang ada di dekatnya. Lalu lari sekeras mungkin, dengan harapan agar segera ditembak. Namun yang terjadi justru sebaliknya, ia tidak ditembak. Justru diperlakukan dengan baik oleh polisi.
 Ketika mendekam di penjara ia kemudian mulai berpikir dan merenung. Polisi, hukum negara yang selama ini dianggapnya thaghut, musuh Tuhan ternyata berbuat baik padanya. Rasa kemanusiannya tersentuh. Toh banyak juga polisi yang Muslim. Polisi juga membiarkan dia leluasa menjalankan ibadah. Jangan-jangan ada yang salah dengan doktrin yang selama ini dia yakini. Pendek cerita setelah keluar, Nasir Abbas kemudian menyakini ada yang salah dengan keyakinannya selama ini. Ada yang tidak benar dengan pemahaman jihadnya. Dia pun kemudian kemudian keluar dari JI dan terlibat dalam aksi-aksi penyadaran para mantan terpidana terorisme.
Lantas Bagaimana dengan ustaz Abu Bakar Ba'asyir: Dibebaskan tanpa syarat kah?
Saya pernah mengikuti seminar-seminar Ba'asyir. Saya juga kenal dengan teman-teman yang alumni Ngruki. Mereka adalah orang-orang yang teguh dalam berkeyakinan. Mereka --kebanyakan--berkeyakinan bahwa Islam, orang Muslim dimana-mana ditindas oleh penjajah maupun penguasa. Mereka juga berkeyakinan bahwa sistem negara sekuler, demokrasi, pancasila, pemerintah adalah thaghut, meskipun sebetunya makna thaghut bisa berbeda sesuai dengan konteks ayat (Lihat Muhaimin, dkk, "Makna Thaghut Dalam Al-Qur'an: Analisis Semantik", 2017).Â
Namun dengan sesama Muslim --atau mereka yang dianggap Muslim---mereka biasanya sangat baik hati. Loyal. Namun jika merasa agamanya ditindas, mereka akan melawan, bahkan kalau perlu nyawa pun dipertaruhkan.
Ba'syir sudah sangat tua, dan sudah sembilan tahun dipenjara. Tampaknya dia juga sudah tidak lagi mempimpin kelompok-kelompok yang dianggap radikal. Pesantren Ngruki yang dulu dia pimpin tampaknya sekarang juga sudah tidak "segarang" dulu. Ada baiknya dia dibebaskan dengan alasan kemanusiaan. Namun sebelumnya perlu didampingi secara berkelanjutan. Perlu dimediasikan dialog anatara dia dengan tokoh-tokoh Islam yang moderat.Â
Dengan tokoh-tokoh yang betul-betul paham dan menguasai ilmu-ilmu Keislaman secara mendalam, bukan sekedar ustaz-ustaz pop. Apa tujuan dia? Bagaimana keyakinan dia? Dsb. Selain itu yang penting pemerintah juga harus bisa meyakinkan dia, bahwa dia tidak sedang ditindas. Umat Islam tidak sedang dizholimi. Saya yakin dia tidak akan mau kalau dia akan dibebaskan dengan langsung diberi syarat, setia kepada NKRI.Â
Dia berbeda dengan Abdullah Thufail Saputra, seniornya yang merupakan pendiri MTA (Majlis Tafsir Al-Qur'an). Thufail misalnya pada 1984an mau menerima Azas Tunggal yang dipaksakan pak Harto, dengan strategi siyasah dakwah, menerima azas tunggal Pancasila hanya demi mengamankan agenda dakwahnya agar tidak diberangus oleh penguasa.Â
Ba'asyir dalam hal ini lebih dekat dengan Abdullah Sungkar--yang juga seniornya---dalam hal keyakinannya. Ba'asyir adalah orang yang terang-terangan, dia asli Jombang, bukan asli Solo. Dia juga juga yang sangat teguh. Maka saya kira perlu proses yang bertahap untuk bisa "melunakkan" dan mengembalikan kayakinanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H