Mohon tunggu...
Ayaayawae
Ayaayawae Mohon Tunggu... -

Pecinta Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kisah Anak Kampung 6

15 September 2011   12:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:56 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku atheis setengah-setengah saat ini. Maksudnya, tidak percaya pada agama, tapi pada  Tuhan, alhamdulilah atau puji syukur masih ada keraguan, belum ada kepastian percaya ada atau tidak ada. Termasuk kelompok masssa mengambang, istilah pemilu. Mungkin maksudnya mengambang biar gampang dipetik (diajak pawai) partai-partai peserta pemilu, lumayan sekali petik dapat uang makan, kadang dibekalin uang saku lagi. Minimal rokoklah.

Awal mula berkenalan agama saat di bangku sekolah. Dari rumah, tidak ada bekal agama (syukur atau celaka?). Di SD ikut pelajaran Islam dan Kristen, di SMP sampai kuliah ikut Katolik. Sekarang tidak ikut mana-mana. Tidak juga ada dimana-mana, bukan seperti seorang kyai kondang yang pernah mengatakan "tidak dimana-mana, tapi ada dimana-mana" pada saat Orba, akhirnya "ada dimana" juga saat reformasi. Fleksibel, yang penting pegang prinsip. Tapi samar, yang prinsip bagi seseorang mungkin bukan untuk seorang lainnya. Sah-sah saja akhirnya si kyai "ada dimana". Berpolitik bukan hal prinsip baginya, kita maklum kalau beragama prinsipnya.

Kembali ke atheis. Jelas bagiku beragama bukan prinsip. Aku juga tak yakin apa prinsipku, tapi samar-samar aku bisa berbisik "berpikir dan berlaku baik bagi semua: manusia, lingkungan, dan segala ciptaanNya". Nah, ada juga pengakuan adanya Dia dalam prinsipku. Memang seperti kataku di awal, masih ada keraguan akan Hal ini. Tak apalah, asal tak membingungkan.

Sama seperti tak perlu aku debatkan baik buruknya pengaruh agama pada manusia. Segala sesuatu diperuntukkan bagia manusia, perlakukanlah ia dengan baik, jangan diperbudak olehnya. Aku lihat, perseteruan, kemarahan, kekerasan atas nama agama, itu akibat manusia diperbudak ajaran agama, diperbudak oleh manusia lain yang mengaku ahli agama. Ketika seseorang menjadi tuan dari dirinya sendiri, terlebih tuan atas kepala dan hatinya, mempunyai kebebasan berpikir dan berolah budi, niscaya ia tidak bisa diperbudak oleh siapapun, oleh apapun. Tetapi untuk menjadi tuan itu bukan perkara mudah. Sejak SD aku diajarin untuk menerima semua perkataan guru sebagai kebenaran, sampai aku kuliah, sampai aku kerja, selalu ada saja yang harus aku rujuk sebagai kebenaran. Menjadi tuan hanya saat seperti sekarang ini, menulis amburadul campur aduk carut marut pikiran sesat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun