Merenung.
Menunggu.
Merenung lagi.
"Kemana tuan rumah hari rabu mu?" Tanya sebuah botol minuman isotonik biru yang lama-kelamaan diselubungi rasa hangat dari terik matahari yang semakin merana.
Alih-alih menjawab, aku tersenyum. "Aku sudah samar-samar mengingatnya. Dia sudah tak berada di cengkramanku, terkadang manusia akan beruntung bertemu orang yang tepat tapi mungkin tidak dalam urusan waktu dan jalan didepan mereka. Â Sudah tidak ada bertukar minuman di siang hari rabu ini, atau melihat sabuk biru yang ia kenakan selepas sekolah di kantin lama. Bahkan disaat aku turun dari tangga dan menoleh ke arah kantin lama, semuanya hanyalah sebuah memori yang ku kenang. Tidak ada lagi bau menyengat dari cologne pria nya yang menyebalkan tapi harus ku akui aku menyukainya itu."
Lantas jika aku sudah mengetahui jalan berbatuan kami berbeda, kenapa aku masih merenung dan menunggu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H