Mohon tunggu...
Zaki Annasyath
Zaki Annasyath Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Lagi belajar nulis-Neraka terdalam dicadangkan bagi orang-orang yang tetap bersifat netral disaat krisis moral

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyoal Mimpi, Mari Kita Berdansa

6 Agustus 2019   08:31 Diperbarui: 6 Agustus 2019   11:02 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sembari melahap camilan yang disuguhkan, Dandhi Priyadi menceritakan mimpinya. Saat ini ia masih duduk di bangku sd di Desa Ciawi meskipun umurnya telah menginjak 16 tahun. Desa Ciawi terletak di Kecamatan Banjarharjo Kabupaten Brebes. Berada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat membuat warga di kecamatan Banjarharjo acap kali berbahasa Sunda sekaligus Jawa.

Desa itu bukanlah desa dengan kesadaran mengenyam pendidikan yang tinggi. Beberapa orangtua kerap membiarkan anaknya memilih bekerja ketimbang bersekolah. Sebagian ingin anaknya menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Tercatat, ada 11 Anak Tidak Sekolah (ATS) di Desa Ciawi yang rata-rata berhenti di bangku Sd. Jumlah itupun bisa saja bertambah.

Tentu saja faktor ekonomi bermain disini. Menurut Karyono, Kepala Desa Ciawi, Keterbatasan ekonomi menjadi alasan utama rendahnya tingkat pendidikan di tempatnya. "Faktor lainnya ada pergaulan yang buruk, serta ketidakyakinan orangtua pada kemampuan anaknya mengenyam bangku pendidikan," kata Karyono, di suatu malam di kediamannya.

Karyono lalu mengisahkan tentang Gerakan Kembalinya Bersekolah (GKB). Program itu salah satu andalan maut Daerah Brebes dibawah naungan Forum Masyarakat Peduli Pendidikan (FMPP) untuk mengurangi jumlah ATS.

Di kesempatan lain, Riyadi Santoso, Wakil Ketua FMPP tingkat kecamatan, mengatakan Daerah Brebes telah mengucurkan APBD sebesar 5,7 milyar untuk membangun sektor pendidikan. Kucuran dana itu menjelma angin segar bagi FMPP demi memaksimalkan GKB. Targetnya, GKB dapat mengembalikan setidaknya 300 ATS di Kecamatan Banjarharjo ke sekolah.

Di desa kecil itu Dandhi tumbuh. Orangtuanya petani. Ayahnya menikah 2x. Dengan istri pertama, ia memiliki dua orang anak. Sedang Dandhi merupakan anak dari istri kedua.

Mamat, Kakak pertamanya, menjadi pengusaha sayuran dan berkeluarga di Jakarta. Sedangkan Olis, Kakak keduanya, menetap di Taiwan sebagai TKI. 

Ayahnya berperangai keras. Ia pernah memukuli Olis karena ketahuan bolos sekolah. Dandhi pun pernah dipukuli ketika berusia 11 tahun sebab mencuri uang ibundanya untuk membeli minuman keras (Miras).

Sampai sekarang, hampir setiap hari Dandhi bersama kawan-kawannya merayakan malam dengan sebotol miras. Harganya berkisar 35 rb sampai 150 rb. 

Untuk mencegah hal itu, Bintara Pembina Desa (Babinsa) melakukan penyuluhan terkait bahaya miras. Pencegahan itu diperlekas melalui kegiatan razia ke sudut-sudut desa. Bukannya mengurangi, Babinsa malah memaksa Dandhi dan kawan-kawan untuk minum secara sembunyi.

Suatu Siang, Saya tengah mencuci pakaian kotor ketika Dandhi mendatangi Posko Kuliah Kerja Nyata (KKN) dalam keadaan mabuk. Di tangan kirinya, ia menggenggam sebungkus plastik Ciu berukuran sedang yang sudah habis setengahnya. Saya pun menyuruhnya pergi demi menghindari hal-hal yang tak diinginkan. 

Rupanya, Dandhi yang mabuk berjalan menuju sekolahnya dan melanjutkan minum disana. Imbasnya, Junaedi, Guru Pramuka SD Ciawi, mengancam akan merekomendasikan kepada Kepala Sekolah agar Dandhi dikeluarkan.

Guru-guru lain pun mengeluhkan sikap Dandhi yang slengekan selama bersekolah disana. Menurut mereka, ia seharusnya sudah dikeluarkan sejak dulu. 

Namun, asumsi bahwa Dandhi cuma sebagai korban dari lingkungannya membuat sekolah pada akhirnya tetap mempertahankan bocah itu sampai saat ini meskipun telah ketahuan mabuk. Harapannya satu: Dandhi tidak terperosok makin dalam.

Kendati bajingan, ia seperti anak-anak lainnya, Dandhi ingin jadi pemain sepak bola. Sebagai Fans Persib Bandung, wajar kalau Arthur dan Mihelik menjadi idolanya. 

Bersama Muhammad Andhika dan kawan-kawan, mereka kerap bermain bola di lapangan belakang setiap sore. Untuk meraih impiannya, Dandhi bergabung dengan Sekolah Sepak Bola (SSB) Bareto. Namun, setelah beberapa lama, SSB itu vakum sebab pelatihnya memilih menjadi TKI di Taiwan.

Tak terasa sudah 1 jam kami bicara. Camilan di depan mata pun sudah habis kami lahap. Saya mengakui, mengobrol dengan Dandhi sangat seru sekaligus sulit. Seru sebab kisah tentang dia beserta keluarganya begitu memikat rasa ingin tahu. Sulit karena kosakata bahasa indonesianya terbatas sedang kosakata bahasa sunda Saya terlampau kacau.

Bagaimanapun, seorang dengan segala keterbatasan mampu bermimpi begitu tinggi. Lalu bagaimana dengan kita yang lebih beruntung?. Oh Saya kira, sudah saatnya manusia berani berdansa dengan mimpi-mimpinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun