Mohon tunggu...
Zaki Annasyath
Zaki Annasyath Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Lagi belajar nulis-Neraka terdalam dicadangkan bagi orang-orang yang tetap bersifat netral disaat krisis moral

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tembok Tebal itu Bernama Uang Pangkal

6 Juni 2019   12:49 Diperbarui: 7 Juni 2019   05:12 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mimpi saya buat kuliah tepat waktu sekiranya gak terwujud, saya harus melakukan apa ya kak?,"

Saat maghrib menjelang, Gawai saya berdering. Velandani Arifin (Bukan Nama Sebenarnya), Calon Mahasiswa Baru Perpusinfo 2018, mengirim pesan pada saya via Line. Beberapa hari terakhir, kami kerap berkirim pesan membicarakan masalah biaya pendidikan yang tengah merundunginya. Arif (Sapaan akrab Velandani Arifin) mengisahkan, Ia berasal dari keluarga yang kurang berada. 

Ayahnya sudah tak bekerja dan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Tanggungan kebutuhan keluarga yang terdiri dari 4 anggota membuat orang tua Arif kesulitan melunasi biaya pendidikan yang diwajibkan UPI. Ketika itu, Biaya pendidikan yang harus ditanggung berkisar 23 jt.

Arif bukannya tak paham dengan besarnya biaya yang akan Ia tanggung jika mendaftar lewat seleksi mandiri. Ia hanya berharap ada sebuah keringanan dari UPI untuk calon mahasiswa yang tersendat masalah ekonomi seperti dirinya. Namun, berbeda dengan orangtuanya. Mengetahui biaya pendidikan yang sangat tinggi, membuat Ayah Arif mengurungkan niat menguliahkan Arif tahun ini. Hal itu tak lantas menyurutkan harapan Arif. Nyatanya Ia tetap bersikukuh. Mimpi untuk kuliah tepat waktu tak bisa Ia pendam begitu saja.

Situasi ketika itu, mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam berbagai organisasi mahasiswa UPI turut memperjuangkan calon mahasiswa UPI yang tersendat biaya pendidikan. Beragam cara dilakukan untuk menemukan celah birokrasi UPI. Namun, hal itu tidak membuahkan hasil. Solusi yang ditawarkan UPI dinilai tak dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Adalah Forum Aksi Mahasiswa UPI (FAMU) yang berinisiatif menggandeng ormawa-ormawa di UPI  untuk mengadakan konsolidasi terkait ketidakjelasan sikap rektorat.

Konsolidasi itu menelurkan aksi beberapa hari setelahnya. Tuntutan massa Aksi melingkupi:

1. Hapuskan Uang Pangkal SM UPI

2. Adakan Bidikmisi Bagi peserta SM UPI

3. Transparansikan dan Verifikasi UKT

Dari hasil Aksi, diketahui bahwa ada Miss Communication antara pihak rektorat dengan divisi Rekrutmen Mahasiswa Baru (RMB) terkait tenggat pembayaran UKT. Selebihnya, rektorat masih enggan memberikan solusi kongkrit perkara 3 tuntutan mahasiswa UPI.

Hasil aksi dan hasil audiensi dengan beberapa pihak kemudian saya sampaikan kepada Arif. Sepercik harapan --Meskipun tetap tak menjamin- memang muncul bagi Arif tapi tidak bagi orangtuanya. 

Bagi orangtua Arif, masalah tak akan berhenti hanya di pusaran biaya pendidikan. Biaya kehidupan disana seperti tempat tinggal, makan, dan pungutan-pungutan di luar UKT misal tugas akademik, embel-embel kaderisasi,  dan lain lain menjadi tembok tebal bagi orangtuanya.

"Bukan berarti bapak tidak mengusahakan kamu untuk sekolah, bapak ingin kamu sekolah setinggi mungkin, bapak bukan mau menghalangi cita-cita kamu. Tapi sekarang kamu sudah harus dewasa, kamu bukan anak pejabat, bukan anak siapa-siapa. Bapak sekarang hanya punya modal rumah dan motor," ujar Ayah Arif. Suaranya terdengar berat. Bergetar seakan menahan tangis.

Ibu Arif juga mengamini perkataan Suaminya. Beliau pun berusaha memberikan pemahaman pada Tam mengenai kondisi ekonomi keluarganya. "InshaAllah, ayah sama ibu tetap bisa menguliahkan kamu, tapi tidak tahun ini," kata Ibu Arif

Melihat keputusan bulat orangtuanya, Arif dengan berat hati memutuskan untuk mengurungkan niat berkuliah tahun ini. Namun, Ia yakin, suatu saat kesempatan untuk mengenyam bangku perkuliahan akan datang padanya. Saat itu, Rabu (15/8/2018) pukul 23.05, Arif menjadi satu diantara ratusan remaja yang harapan kuliahnya kandas sebab biaya pendidikan yang terlampau mahal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun