Menurut Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan, Badan Usaha Tetap (BUT), atau Permanent Establishmnet (PE) adalah bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan dan tidak dan tidak berkedudukan di Indonesia. BUT ini bisa berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik. Bengkel, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
Terkait dengan itu, 14 September 2016, Google Indonesia (GI), sebuah perusahaan media sosial berbasis online, telah menolak ditetapkan sebagai BUT, karena aktivitas perjanjian kontrak dan pembayaran dilakukan secara online. Oleh karenanya, mereka tidak menerima pemasukan dari iklan, sebab bisnis iklan langsung dilakukan oleh Google Singapura, sehingga Google Indonesia terbebas dari pengenaan pajak yang berasal dari iklan yang ditayangkan di Indonesia. Diperkirakan Pendapatan GI per tahun dari aktivitasnya di Indonesia bisa mencapai 2,5 trilyun rupiah. Selanjutnya GI menolak untuk diperiksa oleh Direktorat Jenderal Pajak, karena merasa tidak memiliki BUT di Indonesia.
Menanggapi aksi penolakan GI ini, 16 September 2016 Menkeu Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan tetap melanjutkan pemeriksaan terhadap GI. “DJP akan menggunakan pasal yang ada, sudah punya wadah untuk mendiskusikan hal itu, kalau sepakat atau tidak sepakat, ada peradilan pajak”, ujar Sri Mulyani.
Upaya pemeriksaan terhadap GI ini merupakan langkah DJP untuk melindungi hak memungut pajak atas kegiatan ekonomi yang dilakukan di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan pajak yang berlaku.
Selanjutnya Sri Mulyani mengatakan bahwa persoalan pajak dari aktivitas dengan basis online atau e-commerce ini menjadi masalah di seluruh dunia, mengingat aktivitas ekonomi lewat dunia maya bisa menembus batas ruang suatu negara.
Jadi DJP harus berhati-hati menangani kasus ini yang juga melibatkan negara lain dan mempunyai tingkat kompleksitas yang berbeda di masing-masing negara, sehingga tiap negara memutar otak agar pemungutan pajak atas kegiatan ini dilakukan secara adil, dengan mempertimbangkan letak aktivitas ekonomi, besar nilai tambah dan lokasi pajak yang akan dipungut. “E-commerce yang berbasis online, di mana penjual dan pembeli terhubung secara elektronik menimbulkan satu persoalan serius,” imbuh Sri Mulyani.
Untuk itu Sri Mulyani telah meminta Tim Kementerian Keuangan untuk menganalisa pelaksanaan ekonomi berbasis daring (online) di Indonesia dan membandingkannya dengan negara lain, untuk mencegah agar pemerintah tidak membuat aturan yang membuat industri berbasis online di Indonesia tidak kompetitif dan gagal dikeruk potensi penerimaannya.
Kita patut bangga dengan cara Sri Mulyani merespon kasus penolakan GI untuk diperiksa Otoritas Pajak Indonesia, dengan cerdas dan tepat dengan melakukan identifikasi masalah, menganalisis dan sekaligus menemukan solusi yang terbaik secara komprehensif. Bravo SMI! Lanjutkan.
Sumber :
http://www.pajak.go.id/content/buku-undang-undang-pph-dan-peraturan-pelaksanaannya
http://finance.yahoo.com/news/google-faces-400-mn-bill-indonesia-starts-tax-002319775--finance.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H