Selama ini Program Legislasi Nasional DPR RI tidak pernah bisa mencapai target pengesahan undang-undang. Di tahun 2015, Anggota Dewan hanya menghasilkan 17 Undang-undang dari 39 rancangan yang dibahas. Diperiode sebelumnya sepanjang 2009-2014, hanya 59 dari 247 rancangan yang bisa selesai menjadi Undang-undang. Sedangkan pada masa sidang IV tahun 2015-2016, DPR Menutup masa Sidang tanpa satupun RUU yang bisa disahkan.
Tentu saja banyak alasan yang dijadikan pembenaran oleh para anggota Dewan terhormat ini, padahal mereka adalah kader-kader terbaik partainya dengan rata2 tingkat pendidikan cukup memadai dan telah mengikuti pelatihan-pelatihan di partainya masing-masing. Yang terlihat oleh masyarakat adalah bahwa para anggota dewan lebih sibuk ngurusin hal lain diluar tugas utamanya sebagai pembuat Undang-undang, misalnya kunjungan ke luar negeri dengan alasan studi banding, padahal hanya sekedar wisata sambil belanja menggunakan uang Negara. Dan lebih konyolnya lagi, mereka tidak hadir di Sidang-sidang Paripurna dengan alasan tidak jelas, ato ada di daftar hadir, tapi sosoknya tidak tampak di Sidang.
Konon dimasa Orba, para anggota Dewan diberikan pembekalan khusus yang bisa menyulap kemampuan anggota Dewan menjalankan tugasnya sebagai pembuat undang-undang, penyusunan APBN, dan pengawas pemerintah.
Dengan fakta-fakta tersebut diatas, Ade Komarudin (Akom), Ketua DPR RI dari fraksi Golkar, melontarkan ide alias gagasan untuk membuat Sekolah Khusus yakni “Sekolah Parlemen”, dengan maksud untuk meningkatkan kinerja anggota legislatif.
Lontaran gagasan tersebut sekilas terkesan cukup cerdas, namun publik justru meragukan kecerdasan Akom, malahan mempertanyakan kompetensi Akom dalam mengidentifikasi masalah. Dalam ilmu manajemen pemecahan masalah, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi masalah, melakukan analisa, dan baru kemudian mencari solusi terbaik dari pilihan yang ada. Dalam kasus tidak kompetennya para anggota Dewan menghasilkan undang-undang, Akom menganggap bahwa para anggota Dewan tidak punya kompetensi yang memadai dan harus mengikuti sekolah khusus bagi para anggota dewan.
Gagasan ini terbilang sangat konyol, karena masalah anggota dewan bukan dari segi kompetensi, tetapi lebih kepada ketiadaan kharakter baik dan intergritas lah yang membuat mereka senantiasa melakukan aksi-aksi tak terpuji dan mencari pembenarannya sambil mengabaikan tugas-tugas utama, demi kepentingan diri dan golongannya semata, tanpa pernah memikirkan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Dengan identifikasi masalah yang sangat keliru ini maka timbullah solusi keliru yang akan menjadi masalah baru dikemudian hari.
Gagasan ini juga bisa disebut konyol, karena sejatinya kompetensi anggota dewan adalah menjadi tanggung jawab parpolnya masing-masing, sehingga hanya orang-orang terbaik dari parpol lah yang seharusnya menjadi anggota DPR RI. Gagasan Akom terkesan ingin mengalihkan tanggung jawab masing-masing parpol, dirubah menjadi tanggung jawab Negara.
Selain ketidak mampuan mengidentifikasi masalah ini, juga secara gamblang menunjukkan ketidak mampuan anggota dewan membuat prioritas, sehingga semua rencana yang ada di Prolegnas, akan diterabas oleh usulan “Sekolah Parlemen”, yang dianggap sangatlah penting.
Dengan kenyataan factual seperti itu, seyogyanya Pemerintah tidak terkecoh dengan manuver para anggota Dewan terhormat ini dengan secara tegas menolak “Sekolah Parlemen” yang tidak ada manfaatnya untuk kepentingan rakyat ini. Semoga !!
Sumber :
http://nasional.kompas.com/read/2016/08/26/08114371/gagasan.sekolah.parlemen.mendesakkah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H