[caption caption="Sindonews.com"][/caption] Gambar : Sindonews.com
Pada tanggal 7 April 2016, Dalam gladi resik persiapan HUT ke 70 TNI AU, di Lanud Halim Perdana Kusumah, Jakarta telah terjadi kecelakaan terjun payung yang menewaskan dua penerjun dari batalyon 461 Paskhas yakni Kopral Dua Beni dan Pratu Supranoto.
Insiden Kecelakaan tersebut dibenarkan oleh Kepala Dinas Penerangn Angkatan Udara (Kadispenau), Marsekal Pertama Dwi Badarmanto. Dwi mengklarifikasi bahwa latihan terjun tersebut menggunakan Pesawat C-130 Hercules diikuti oleh ratusan penerjun, dimana salah satu tali parasut penerjun terbelit sehingga susah dikendalikan lalu mendarat diatas rumah warga di kompleks TNI AU, sedangkan seorang penerjun lainnya melakukan pendaratan sempurna, tetapi saat mendarat angin sedang bertiup sangat kencang, sehingga penerjun tersebut mendapat benturan keras .Â
Olahraga terjun payung adalah salah satu jenis olahraga dirgantara yang berada dibawah naungan Federasi Aero Sport Indonesia (FASI), Â yang penuh tantangan dan cukup berbahaya, oleh karena itu diperlukan aturan2 yang dibuat demi untuk keselamatan para atlitnya.Â
Khusus dalam olah raga terjun payung ini, setiap penerjun harus dapat lolos dari ujian fisik dan psikologis dan baru kemudian baru bisa mengikuti pelatihan selama beberapa hari sebelum melakukan penerjunan. Â Dalam pelatihan tersebut juga diajarkan cara2 mengatasi prosedur emergensi yang sejatinya harus dikuasai dengan baik oleh semua penerjun sehingga bisa diaplikasikan pada situasi emergensi apapun yang bisa terjadi di setiap aksi penerjunan.
Dengan berpatokan Prosedur Emergensi tersebut, maka kedua kecelakaan bisa dihindarkan sbb :
1. Â Tali Parasut terbelit
Hal ini bisa terjadi karena kesalahan melipat parasut karena tidak hati2 saat melipat parasut sebelum terjun, dan ketika parasut utama tidak berkembang langsung membuka parasut cadangan. Seharusnya seorang penerjun melakukan cut away (melepas parasut utama) dengan segera, dan kemudian baru mencabut parasut  cadangannya, sesuai SOP yang berlaku. Dalam hal ini semua penerjun harus disiplin dengan membuka parasut dalam ketinggian 2.500 kaki atau lebih sehingga punya waktu yang cukup untuk melakukan cut away ini.
2. Â Kena Benturan Keras ketika Mendarat
Dalam setiap aksi penerjunan, maka harus tersedia Wind Shock, yaitu alat penunjuk arah dan kecepatan angin berwarna jingga yang dipasang disekitar Dropping Zone (tempat pendaratan). Setiap penerjun harus melihat posisi Wind Shock berada sebelum naik ke pesawat, dan setelah melakukan penerjunan serta membuka parasutnya, harus melihat Wind Shock tersebut untuk mengetahui kecepatan dan arah angin sehingga dapat melakukan pendaratan dengan sempurna. Â Karena penerjunan ini berupa gladi resik untuk sebuah Demo Terjun Payung (bukan lomba terjun payung), maka pada saat akan melakukan pendaratan, penerjun dianjurkan mendarat dengan melawan arah angin (up wind), sehingga pendaratan dapat dilakukan dengan lembut dan nyaman.Â
Tentu saja persyaratan kecepatan angin untuk melakukan penerjunan harus diketahui sebelum pesawat terbang mengangkut para penerjun dan tidak diperkenakan melakukan penerjunan dalam kondisi angin sangat kencang. Â Dengan asumsi ini, maka nampaknya tidak ada angin sangat kencang, yang kalaupun ada akan berdampak pula kepada penerjun2 lainnya dan kepada semua obyek di sekitar droping zone tersebut.Â