Â
Gambar : Detik.com
Cendekiawan Emil Salim, Menteri 3 periode Kabinet Soeharto, bergabung dengan sejumlah tokoh lainnya dalam Paguyugan Punakawan, menemui pimpinan DPR, 27 Agustus 2015, untuk menyampaikan beberapa hal, salah satunya perihal rencana pembangunan Gedung Baru DPR. Mereka meminta agar rencana itu dikaji ulang, karena pembangunan itu dinilai tidak berguna untuk peningkatan kualitas intelektual yang justru merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh para anggota DPR nan terhormat itu pada saat sekarang ini, sehingga sebaiknya ditunda, dengan alasan2 sbb :
- Menyinggung hati nurani masyarakat kecil.
- Memprioritaskan dan fokus pada persoalan yang lebih mengedepankan kepentingan rakyat, misalnya : pengawasan program dana desa.
Sejak awal diwacakan, rencana pembangunan proyek gedung DPR senilai Rp. 2,7 trilyun ini sudah menuai penolakan dari banyak kalangan, termasuk dari Pemerintah dan DPR sendiri. Meskipun belum semua, satu per satu fraksi di DPR akhirnya setuju agar rencana tersebut dikaji ulang. Pembanguna Gedung tersebut terdiri dari tujuh proyek, yaitu pembangunan alun2 demokrasi, museum dan perpustakaan, jalan akses, visitor center, Pusat kajian, pembangunan ruang anggota DPR, dan integrasi tempat tinggal anggota DPR.
Sejatinya gagasan memugar kompleks parlemen merupakan rencana lawas di era pemerintahan Presiden SBY di bulan Agustus 2010, dengan anggaran Rp. 1,138 trilyun. Biaya ini akan digunakan untuk membangun gedung setinggi 36 lantai, bukan hanya tempat kerja, tetapi akan dibangun hal2 tambahan yang tidak ada relevansinya dengan tugas utama anggota DPR seperti, kolam renang, restoran hingga pusat kebugaran di lantai teratas.
Tentu saja rencana pembanguna Gedung DPR bak hotel bintang lima nan konyol itu langsung memicu gelombang penolakan, sehingga memicu ketua DPR saat itu Marzuki Alie untuk memangkas anggaran menjadi Rp. 800 milyar, dengan tinggi gedung dikurangi menjadi 29 lantai. Sedangkan fasilitas mewahnya dihapus sehingga fasilitas tambahan yang akan dibangun hanya kantin dan perpustakaan saja.
Namun demikian, karena rencana ini terus menuai pro-kontra, membuat rencana tersebut menjadi layu sebelum berkembang, dan ditunda dengan sendirinya.
Anehnya, rencana pembanguna tersebut nongol lagi di periode DPR 2014-2019, dengan alasan utama Gedung Nusantara I sebagai ruang kerja tidak bisa lagi menampung anggota DPR dengan para stafnya, yang masing2 memiliki dua tenaga akhli dan satu staf pribadi.
Rencana ini disampaikan secara resmi oleh Ketua DPR Setya Novanto saat menutup masa sidang III DPR, 24 April 2015, dengan mengklaim bahwa Presiden Jokowi sudah setuju dan akan meresmikan tanda dimulainya pembangunan gedung baru itu saat membacakan Nota Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016.
Secara tegas Presiden Jokowi menolak rencana tersebut dengan menolak menandatangani prasasti karena proyek itu dinilai belum jelas, namun rencana terus bergulir, bahkan upaya membangun kompleks DPR yang muncul kali ini lebih matang dan rinci.
Kita anggap saja, bahwa DPR merasa benar dengan semua pembenaran argumentasi yang dilontarkan, namun Presiden Jokowi diharapkan konsisten menolak dengan tegas, karena itu hanya merupakan arogansi para anggota DPR semata yang masih keukeuh mencari peluang untuk mendapatkan tambahan penghasilan dari mark up ato komisi proyek2 tersebut.
Sumber :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H