Â
Gambar : Indopos.co.id
Â
Pemerintah telah menyodorkan Rancangan Undang2 Kitab Undang2 Hukum Pidana (RUU KUHP), yang salah satu pasalnya terselip pasal yang menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap Kepala Negara.
Sejatinya, Mahkamah Konstitusi (MK), telah mencabutnya pada tanggal 6 Desember 2006 dengan mengabulkan gugatan uji materi atas pasal penghinaan tersebut.
Tentu saja sikap pemerintah ini sangat disayangkan karena mempunyai potensi memberangus kebebasan berekspresi yang diatur dalam pasal 28, 28E (2), 28E (3). Sikap ini dinilai identik dengan pendahulunya yang alergi terhadap kritik. Padahal semua protes, pernyataan, pendapat ataupun pikiran tidak serta merta harus ditafsirkan oleh penegak hukum sebagai penghinaan terhadap penguasa.
Di masa lalu, pasal penghinaan terhadap kepala Negara ini telah banyak menelan korban dikalangan aktivis demokrasi yang dianggap menghina penguasa.
Idealnya, Pemerintah sebagai pihak yang menyiapkan naskah, harus mengkaji dengan hati2 pasal demi pasal, sehingga revisi atas KUHP yang merupakan warisan kolonial itu mampu mencerminkan politik hukum pidana yang melindungi hak2 warga Negara, kebebasan sipil dan hak asasi manusia, serta tidak diskriminatif. Seharusnya, pembaruan hukum pidana ini mengarah pada hukum pidana modern yang mampu memfasilitasi dan memastikan Indonesia sebagai Negara yang demokratis.
Akhirnya, jika pemerintah tetap keukeuh ingin menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap Kepala Negara ini , maka bisa dimaknai sebagai langkah mundur dan kembali ke jaman kolonial.
Sumber :
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H