Izzat Darwazah adalah mufassir yang latar belakang keilmuannya terkonsentrasi pada bidang sejarah dan politik yang juga aktif menulis. Sebelum berkiprah di bidang politik, Darwazah dikenal sebagai sejarahwan, sementara aktivitas penafsirannya dimulai saat karier politiknya berakhir. Konsekuensi logisnya, ideologi politik dan pra politik yang melingkupinya mempengaruhi model penafsiran yang berbeda terhadap al-Qur'an. Dalam bidang al-Qur'an dan kajian pemikiran Islam, upayanya dalam memproduksi sebuah kitab tafsir yang utuh dilatar belakangi oleh ketidakpuasannya dalam membaca karya-karya tafsir yang sudah ada.
Kitab al-Tafsir al-Hadits karya Muhammad Izzat Darwazah disusun dengan menggunakan sistem tartib al-nuzuli yang mengacu pada kronologi turunnya wahyu. Menurutnya, penulisan  tafsir berdasarkan tartib al-nuzuli masih tergolong baru dan pertama kali muncul dalam dunia tafsir setelah berakhirnya Dinasti Bani Umayyah dan awal mula Dinasti Abbasiyah. Menyebutkan mushaf Ali bin Abi Thalib  ditulis berdasarkan sistem tartib al-nuzuli. Adapun baginya, sejauh ini belum ada yang mengkritik mushaf Ali. Oleh karena itu, tidak ada larangan bagi seseorang untuk menulis kitab tafsir  berdasarkan Tartib al-Nuzuli. Sebelum menulis kitab tafsir berdasarkan Tartib al-Nuzuli ini, Darwazah terlebih dahulu membahasnya dan meminta pendapat dari dua tokoh, yaitu Syaikh Abi al-Yasar Abidin yang merupakan mufti Syam dan Syaikh Abdul Fattah Aba Ghadah yang merupakan calon mufti. Suriah. Kota Aleppo. Kedua tokoh inilah yang kemudian mengajak Darwazah untuk menulis kitab tafsir berdasarkan tartib al-Nuzuli.
Izzat Darwazah menelaah beberapa literatur yang membahas sistematika tartib al-nuzuli secara serius sebelum menetapkannya. Beberapa literatur yang ia komparasikan adalah mushaf Musthafa Nadif yang masyhur dengan sebutan Qudar Ugly (ada juga yang menyebut Baqdar Ogly), tartib al-nuzuli milik al-Suyuthi yang disandarkan pada beberapa riwayat, sistematika surat dalam tafsir al-Khazin dan tafsir al-Tabrasi, sistematika surat berdasarkan riwayat al-Husain, Ikrimah, Ibnu Abbas, dan Jabir bin Zaid.  Ada perbedaan antara sumber-sumber ini, menonjol atau tidak. Darwazah kemudian menjadikan mushaf Qudar Jelek sebagai landasan sistematis tartib nuzuli-nya. Alasan dipilihnya mushaf ini  karena sistem mushaf ini disusun di bawah pengawasan panitia yang terdiri dari perorangan, tentunya dengan ilmu yang tidak terbantahkan. Karena itulah Izzat Darwazah lebih memilih  mengakui tartib nuzuli yang mereka sepakati.
Adapun perbedaan antara Ugly yang dijadikan pegangan oleh Izzat Darwazah dengan susunan surah hasil nya sendiri. Jika Ugly menjadikan surat al-'Alaq sebagai surat pertama, sedangkan Izzat Darwazah lebih memilih surah al-ftihah sebagai surah pertama. Dengan argumentasi bahwa meskipun al-ftihah bukan surah yang pertama turun, tapi ia merupakan surah yang turun pertama kali secara lengkap setelah al-'Alaq. Selain itu surah al-Ftihah merupakan surah pembuka kitab (ftihah al-kitab) dan seringkali, bahkan wajib dibaca pada setiap rakaat dalam shalat. Perbedaan lainnya adalah terkait dengan posisi surah al-zalzalah, al-Insn, al-Rahman, al-Ra'd dan al-ajj. Sementara Ugly menjadikan surah-surah itu sebagai kategori surah madaniyyah. Sebaliknya Darwazah memasukkan surah-surah itu ke dalam kategori makiyyah.
Adapun metode yang digunakan Izzat Darwazah dalam kitab tafsir al-hadis adalah dengan menggunakan tafsir bi al-Ma'tsur dan bi al-ra'yi . Alasannya bahwa, penggunaan penggunakan kedua metode tersebut terlihat seimbang dalam tafsirnya. Dalam hal ini, untuk penamaan penggabungan metode tafsir bi al-Ma'tsur dan bi al-Ra'yi , ada istilah yang digagas oleh Shalah Abdul Fattah al-Khalidi yang ia paparkan dalam kitabnya Ta'rif al-Darisin bi Manahij al-Mufassirin. Metode tersebut ia namakan dengan al-As}ari al-Naz}ari . Para mufassir yang menggunakan metode ini, menyusun antara riwayat dan pemikiran. Maka dalam penafsiran mereka akan didapati kutipan-kutipan riwayat berupa hadis Nabi, perkataan Sahabat, dan Tabi'i
Adapun bentuk penyajian tafsir yang digunakan dalam kitab ini tergolong kategori bentuk penyajian tafsir tahlili. Hal ini dapat dibuktikan dengan uraian-uraian yang mendalam yang diberikan oleh Darwazah pada setiap ayat yang ditafsirkan. Ketika menafsirkan ayat, Darwazah mengelompokkan ayat-ayat yang masih dalam satu konteks pembicaraan pada satu tempat. Ia juga mengutip ayat-ayat lain yang setema untuk menjelaskan ayat yang sedang ditafsirkan. Oleh karena itu, kitab ini juga digolongkan kepada kitab tafsir yang menggunakan bentuk penyajian yang tematik (maudhu'i)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H