Setiap umat muslim diwajibkan untuk mendirikan shalat sebagaimana perintah tersebut terdapat dalam al-Qur'an dan merupakan rukun Islam yang kedua. Shalat adalah amalan pertama yang dihisab ketika hari kiamat kelak, baik itu shalat fardhu maupun shalat sunnah. Mendirikannya sama saja dengan menopang iman kita ibarat tiang-tiang bangunan yang tetap kokoh menjaga satu sama lain. Sungguh akan merugi orang yang meninggalkan shalat secara sengaja.
Mendirikan shalat sama saja akan menggugah hati kita untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang mungkar. Sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ
"Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) yang keji dan munkar " (QS. al-Ankabut: 45)
ayat di atas sangat menegaskan dengan kalimat sesungguhnya bahwa dampak meninggalka shalat adalah dorongan hati yang akan menuju kepada kemaksiatan. Dengan mendirikan shalat maka hati akan tenang dan menghilangkan niatan jahat atau keji dalam hati manusia.
Tetapi mungkinkah shalat kita belum benar? sudahkah shalat kita diniatkan dengan tulus karena Allah? apakah ada hal lain yang menjadikan kita shalat? sampai-sampai masih ada noda dalam hati kita?. Tentu sebagai hamba kita pernah merasakan prasangka-prasangka buruk yang menodai, tugas kita adalah mengontrolnya dengan shalat yang baik dan benar. Dengan mendirikan shalat dengan niatan ikhlas beribadah kepada-Nya, maka kelezatan iman akan kita rasakan.
Adapun golongan orang yang merugi karena melaksanakan shalat, kok bisa? mengapa? Allah SWT berfirman:
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙالَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙالَّذِيْنَ هُمْ يُرَاۤءُوْنَۙوَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ ࣖ
"Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya'. Dan enggan (menolong dengan) barang-barang yang berguna". (Qs. al-Ma'un: 4-7).
Pada ayat 1-3 dijelaskan tentang sifat pendusta dalam bersosial yaitu yang menghardik anak yatim dan tidak peduli kepada orang fakir miskin. Pada ayat ke 4-7 jelas menjelaskan sifat pendusta pada konteks ketakawaan khusus kepada Allah SWT.