Ditetapkannya Ahok sebagai tersangka disyukuri banyak pihak. Meski juru bicara kampanyenya Anies Baswedan, Muhammad Taufik berkoar-koar mengatakan bahwa mereka tidak akan menari-nari diatas penderitaan Ahok, tapi jelas ada senyum dari ucapannya tersebut. Apalagi publik tahu bagaimana sikap Muhammad Taufik terhadap Ahok selama ini.
Begitupun dengan Agus Yudhoyono. Bolehlah ia mengatakan bahwa tidak akan mengambil keuntungan dengan status Ahok saat ini, namun tidak bisa dipungkiri langkahnya menuju Jakarta satu sedikit ringan.
Agus Yudhoyono, anak pertama, dan dianggap oleh sebagian pengamat merupakan putra mahkota dari klan SBY mengalami kemajuan pesat dalam hal ektabilitas. Beberapa lembaga survey mengklaim bahwa ektabilitas sang Putra Mahkota hampir menyamai Ahok. Bahkan LSI, lembaga survey yang dikomandoi oleh Denny JA, melalui peneliti seniornya, Adjie Alfaraby mengatakan bahwa hanya Sang putra mahkota yang mengalami kenaikan dari 19.3% menjadi 20,9% sementara dua pasangan lainnya mengalami penurunan. Anis dari 21,1% menjadi 20%. Sedangkan Sang gubernur non aktif, Ahok terjun bebas dari 31,4% menjadi 24,6%.
Jarak putra mahkota dengan Sang gubernur hanya tarpaut tipis 3,7%. Sementara pesaing lainnya, Anies seakan mengalami stagnan dan lambat dalam pergerakannya. Berbekal data LSI tersebut, sang pangeran pun yakin dapat memenangkan pertempuran ini dalam satu putaran.
Jauh hari, tepatnya bulan Oktober Lembaga survey milik Denny JA mengejutkan banyak pihak dengan mengeluarkan hasil survey mereka bahwa 40% pemilih muslim enggan untuk memilih Ahok. Survey tersebut sempat ditentang oleh peniliti LIPI, Ikrar Nusa Bakti dan Siti Zuhro. Mereka berdua meragukan hasil survey tersebut, karena menurut survey mereka pemilih Ahok dari kaum muslim masih yang tertinggi dibandingkan dua pesaingnya.
Namun itu dahulu, saat belum terjadi demo 4 November. Sekarang ramalan Denny JA tersebut mendekati kenyataan. Apalagi setelah Ahok menjadi tersangka, gelombang penolakan oleh berbagai warga Jakarta semakin setruktur dan terorganisir. Meski beberapa spanduk provokatif yang berisi sentimen SARA kepada Sang gubernur sudah diturunkan oleh pihak terkait, namun nyatanya masih banyak saja spanduk yang sama terbentang di beberapa sudut Jakarta.
Seakan ingin menguatkan ramalannya, Denny JA melalui detik.com, mengatakan bahwa sekitar 50% sampai 60% pemilih Ahok akan lari dan meninggalkannya, dan Ahok akan menjadi juru kunci dalam pemilihan nanti.
Opini yang dibangun Denny JA mengingatkan kita akan keterlibatannya pada pemilihan presiden tahun 2004. Saat itu Denny JA dengan payung LSI menjadi konsultan SBY dalam pemenangan presiden. Sosok yang dihajar Denny JA saat itu adalah Megawati.
Sama seperti Ahok, ektabilitas Megawati sebelumnya begitu tinggi mengalahkan calon kandidat yang lain. Namun Denny JA melihat celah pada diri Megawati yang kemudian diekspos dan diangkat menjadi isu nasional. Berbagai kebijakan Megawati dikritisi, dan puncaknya adalah saat isu penjualan Indosat ke tangan asing. Ternyata hal itu berhasil, hampir seluruh rakyat menaruh ketidakpercayaan pada presiden. Hingga akhirnya ektabilitas Megawati pun jatuh dan tersalip SBY.
Begitupun dengan Ahok, berbagai macam isu digulirkan mulai dari sumber waras dan reklamasi. Akan tetapi belum ada satupun yang mampu menggoyahkan ektabilitas Ahok. Baru ketika isu penistaan agama diangkat, umat Islam memberontak. Isu ini pun menjadi isu nasional, dan ternyata berdampak pada ektabilitas Ahok yang semakin haris semakin terjun bebas.
Apakah Denny JA dan kru LSI nya juga salah satu pihak yang berada dibelakang itu? Memang perlu pembuktian yang akurat. Namun jika melihat tulisan-tulisan Denny JA di surat kabar Republika, terlebih saat isu penistaan agama digulirkan, nampak sekali kecenderungannya agar Ahok diadili begitu nyata, serta dukungannya dan upaya mengangkat figure Agus amat terasa. Begitupun dengan anggota Lingkaran Survey Indonesia yang lainnya. Tulisan-tulisan yang mereka buat seakan menggiring opini masyarakat bahwa Jakarta harus memiliki pemimpin yang tegas dan santun. Sebuah semboyan yang selama ini melekat dengan SBY.
Lalu bolehkah mengambil Lembaga Survey menjadi konsultan dan sebagai tim pemenangan? Ini yang masih menjadi bahan perdebatan. Bebarapa anggota DPR menghendaki agar Lembaga Survey itu independent, berdiri sendiri dan tidak terikat oleh kepentingan partai atau elite partai manapun. Namun ada juga yang menghendaki sebaliknya. Begitupun dengan para prkatisi Lembaga Survey, ada yang setuju, banyak juga yang tidak setuju. Menanggapi banyaknya para peneliti yang seperti itu, Siti Zuhro, peneliti LIPI berkelekar bahwa sejumlah lembaga survey sudah tidak benar karena bukan lagi maju tak gentar membela yang benar, tapi maju tak gentar membela yang bayar.
Jika LSI ada dibelakang Agus Yudhoyono, maka peristiwa tahun 2004 akan terulang kembali, dimana LSI menjadi “kendaraan” SBY dalam pemenangan presiden. SBY paham akan hal itu. Ucapannya yang mengatakan bahwa pemilihan gubernur DKI beraroma seperti pemilihan presiden mengindikasikan jika strategi pertempuran yang diterapkan SBY adalah strategi 2004. Dan SBY menghendaki agar putra mahkotanya bisa menerapkan langka-langkanya dalam memenangkan pertempuran tersebut.
Bagaimana dengan Ahok? Setelah ditetapkan menjadi tersangka Sang gubernur banjir dukungan. Bahkan sudah ada kurang lebih 25 ribu orang menenken petisi perlindungan hukum untuk Sang gubernur. Beberapa orang yang mengatasnamakan ormas betawi datang memberikan dukungan. Ahok merasa bersyukur dirinya ditetapkan menjadi tersangka. Ahmad Dhani mengatakan bahwa penetapan tersangka Ahok hanya sandiwara. Bahkan H. Lulung lebih frontal mengatakan bahwa Ahok sudah yakin dirinya akan bebas. Melihat hal ini GNPF MUI mendesak agar Ahok dipenjarakan.
Melihat kasus Ahok dan terjunnya ektabilitas yang ada pada dirinya, harus dijadikan kegelisahan bagi tim suksesnya. LSI sudah mengeluarkan hasil polling terbaru yang menunjukan bahwa ektabilitas Ahok hanya 10%, jauh diatas dua kandidat lainnya, bahkan Agus mengalami peningkatan 10%. Anies Baswedan pun terheran-heran dengan peningkatan tajam ektabilitas Agus.
Boleh saja timses Ahok meragukan atau tidak memperdulikan hasil polling LSI. Namun Ahok harus berkaca dengan pengalamannya di Bangka Belitung, saat ia mencalonkan diri dan gagal karena LSI secara masif mengeluarkan hasil polling bahwa ektabilitas Eko Ari Maulana, salah satu pesaing Ahok yang membayarnya mengahlakan ektabilitas dirinya. Jika timses tidak mengambil langkah-langkah yang tepat maka opini yang dibangun LSI untuk menjatuhkan Ahok akan kuat di masyarakat. Itu artinya kans Ahok untuk terpilih kembali menjadi gubernur Jakarta semakin menipis.
Mungkin saatnya bagi Ahok untuk menggandeng satu lembaga survey yang kridibel guna 'melawan' LSI. Jika Ahok tetap pada pendiriannya dan tidak mau menggandeng salah satu lembaga survey sebagai konsultannya, maka dikhawatirkan nasibnya sama seperti saat pilkada Bangka Belitung. Juga sama seperti Megawati yang gagal karena mengabaikan polling LSI.
Selain sama-sama anti LSI, ternyata Ahok dengan Megawati pun memiliki persamaan yang lain, yaitu sama-sama menjadi penerus pemimpin sebelumnya. Megawati meneruskan tugas Gusdur yang dimakzulkan sebagai presiden, dan Ahok melanjutkan Jokowi yang naik menjadi presiden. Dan lucunya lawan kuat yang mereka berdua hadapi juga sama, yaitu sama-sama Klan Cikeas. Megawati ditantang pendiri Dinasti Cikeas, SBY. Dan Ahok ditantang Putra mahkota Cikeas, Agus Yudhoyono. Lau lembaga survey yang menyudutkan mereka berdua pun sama yaitu, Lingkaran Survey Indonesia (LSI). Namun pertanyaannya apakah Ahok juga sama akan tumbang seperti halnya Megawati? Menarik untuk diikuti perkembangannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H