“Hujatan” dan “Kesalahan” dari kericuhan yang terjadi pada demo damai bermartabat tanggal 4 November itu akhirnya dilimpahkan kepada Jokowi. Para tokoh bangsa, para ulama, pemilik lembaga survei, pengamat, dan partai politik yang dari awal berseberangan dengan kebijakan pemerintah berbondong-bondong “menyerang” Sang Presiden. Mereka rata-rata menyalahkan atas ketidakhadiran Presiden. Bahkan, perkataan Fahri Hamzah yang mengatakan bahwa Jokowi bisa digulingkan hanya dengan dua cara, yaitu parlemen Jalan dan Parlemen ruangan seakan menyiratkan bahwa demo tersebut tidak lagi murni mengusut kasus Ahok atas dugaan penistaan agama namun sudah ditunggangi oleh kepentingan politik, yaitu menumbangkan Sang Presiden.
Dan yang harus dipertanyakan adalah patutkah pemimpin lembaga pemerintahan ikut dalam demo tersebut. Bukankah pemerintahan ini terdiri dari 3 (tiga) Lembaga negara, yaitu Eksekutif, Yudukatif, dan Legislatif yang saling terikat, mengawasi dan bekerja sama satu sama lain. Oleh karenanya, ketika terjadi demo terhadap satu lembaga, otomatis lembaga yang lain pun akan menjadi sasaran demo pula. Akan lucu jika pemimpin lembaga mendemo gedung lembaganya sendiri.
Sangat disayangkan aksi damai nan indah dan bermartabat itu tercoreng oleh “tunggangan yang berbau politik”.
“Presiden... presiden... kami ingin bertemu presiden!” beberapa masa berteriak memanggil sang kepala Negara. Namun, sayangnya teriakan mereka hanya bergema di sekitarnya lalu menguap tertelan kekecewaan. Sang Presiden ternyata tidak berada di tempat. Beliau telah memerintahkan wakil beliau dan beberapa pembantunya (menteri) untuk menerima para perwakilan demonstran. Kebijakan beliau membuat para wakil demonstran kecewa.
Memang sangat disayangkan kenapa Presiden tidak ada di saat rakyatnya berteriak memanggilnya. Ini mungkin yang sekali lagi disesalkan oleh berbagai pihak. Namun, sepertinya kita juga perlu memahami posisi Presiden. Semua kalangan dan masyarakat luas mungkin tidak akan menyangka jika demo 4 November berjalan begitu tertib, santun, dan bermartabat. Semua kalangan sebelum terjadi aksi 4 November seperti satu suara bahwa aksi tersebut akan rusuh. Bukan hanya pemerintah, para pengamat pun berpikiran seperti itu.
Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Aksi 4 November begitu damai dan bersahabat. Terbukti dengan banyaknya foto selfie antara polisi dengan pendemo. Bahkan polwan-polwan cantik menjadi “target” foto selfie oleh para pendemo. Tampak sekali para aparat membagi-bagikan minuman, tisu, dan obat-obat kepada para demonstran.
Ketakutan-ketakutan jika ada penyusup dan penembak gelap yang mengincar nyawa presidan saat beliau di tengah-tengah para pendemo perlu diutamakan. Sebelum aksi demo 4 November semua kemungkinan dihitung berdasarkan data yang pemerintah miliki. Namun, yang lebih utama adalah keselamatan nyawa kepala negara. Ini adalah proptap mendasar. Apa pun dan bagaimanapun demo tersebut jarang kepala negara di suatu negara datang menemui para pendemo karena yang dikhawatirkan akan ada “para penumpang gelap” yang mengincar nyawa kepala negara.