Penjara merupakan sebuah dunia kecil yang tidak dikenal dengan baik oleh banyak masyarakat. "Perkenalan" masyarakat dengan penjara lebih banyak hadir dari cerita, kabar berita, atau sebagian yang pernah hidup didalam sana. Karena hanya dari cerita atau kabar berita, maka kosa kata yang muncul saat mendengar penjara pun tidak jauh dari sebatas penderitaan, pengekangan, atau pengasingan dari orang-orang yang dipaksa tinggal didalamnya. Bagunan tinggi berujung kawat berduri, kamar yang dihiasi jeruji, dan pintu gerbang berpelat besi adalah gambaran sempurna tentang penjara yang oleh Nathaniel Throwne dijuluki sebagai bunga hitam peradaban. Itulah cakrawala tentang penjara yang hidup dalam sudut logika kebanyakan dari kita.
Maka, tidak heran saat rombongan dari pemda yang dipimpin oleh Wakil Gubernur masuk dalam penjara, mereka seperti tidak percaya dengan beragam aktivitas yang ada. "Loh disini ada masjid toh?" Tanya salah seorang anggota rombongan saat melewati masjid yang terletak disebelah kanan lapangan upacara dalam penjara. Di dalam masjid terlihat puluhan santri napi tengah belajar mengaji, membaca kitabullah. Sejenak rombongan berhenti, berdiskusi dengan salah seorang santri. Dan akhirnya mereka menjadi mengerti jika beribadah dan menjalankan ajaran agama adalah hak setiap napi yang harus dihormati. Mereka pun menjadi mengerti bahwa seorang yang berstatus sebagai napi tidak hanya dikurung dalam kamar berjeruji, tetapi mereka juga bisa memilih untuk menjadi santri.
Dan di lapangan upacara, ketrampilan baris berbaris diperagakan oleh beberapa napi berseragam pramuka. Semua gerakan baris berbaris mereka prkatekkan; hormat bendera, jalan di tempat, hadap kanan-hadap kiri, langkah tegap, periksa kerapihan, hingga formasi pengibaran bendera. Terlihat rapih dan kompak dibawah komando seorang napi yang merupakan mantan tentara.
Saat perjalanan "tamasya" rombongan Pemda sampai pada area Balai Latihan Kerja, keheranan mereka semakin berubah menjadi ketakjuban. Di area ini, mereka disuguhi dengan beragam aktifitas kreatif yang menghasilkan karya yang unik dan menarik. Ada batik tulis yang sudah eksis selama 4 tahun lebih. Ketrampilan membatik ini dipelajari dari pakar batik yang dihadirkan dari Museum Batik Indonesia dan Yayasan Ibu Kembar. Sekitar 15 orang napi sudah begitu piawai dalam menggambar pola, mencanting, dan membuat pewarnaan kain batik. Dan karena kekhasannya, maka pada setiap kunjungan pejabat ke luar negeri, batik tulis karya warga penjara ini tidak pernah terlupa untuk dibawa dan menjadi karya yang layak sebagai cindera mata.
Masih ada beberapa kegiatan yang ditekuni oleh sekitar 300 napi dalam lingkup balai latihan kerja ini, seperti latihan menjahit, sulam perca, barber shop, laundry, pembuatan tempe, kerajinan kayu, pengolahan limbah karet, peternakan ikan hias, hingga pembuatan roti donut. Juga ada perkebunan di area sisi luar penjara.
Di dalam sana, para narapidana ditumbuhkan kepercayaan dirinya bahwa dia adalah pribadi yang masih memiliki potensi diri untuk bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Di dalam sana, tidak ditunjukkan kepada para narapidana bahwa mereka adalah penjahat, mereka hanya kebetulan pernah tersesat dan saatnya untuk bertobat. Penjara bukanlah sangkar, tetapi dia adalah sanggar bagi beragam kreativitas tanpa batas dari mereka yang ruang geraknya terbatas.
Penjara bukanlah tentang balas dendam. Tetapi, penjara adalah tentang menjaga agar masa depan mereka yang terkurung di dalamnya tetap terjaga dan tidak padam.
Itulah Cakrawala yang kini terbangun dalam ingatan mereka tentang penjara. Cakrawala yang perlu ditularkan dalam benak setiap orang di luar penjara.
Wassalam...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H