Sebelum saya menemui kemacetan di kilometer 8, rata-rata kecepatan saya adalah 40 km/jam. Sekarang, saat saya di kilometer 10, rata-rata kecepatan saya selama perjalanan adalah 10 km dibagi dengan 12 menit saat saya meluncur di 8 km pertama, dan 48 menit saat saya stress di 2 km berikut, yaitu total 60 menit atau 1 jam. Jadi rata-rata kecepatan selama 10 km adalah 10 km/jam.
Fantastis bukan perubahan rata-rata kecepatan perjalanan saya? Dari saat 8 km dilalui dimana rata-rata kecepatan adalah 40 km/jam, tiba-tiba setelah 10 km lewat rata-rata kecepatan saya menjadi 10 km/jam. Memang perubahan yang cukup drastis.
Tapi sekarang coba kita buat skenario lain di perjalanan 100 km saya. Sekarang, saya berkendara di kota saat libur Lebaran. Sungguh lengang! Saya berkendara 98 km tanpa ada hambatan dimana-mana. Tapi yah tidak terlalu mengebut juga. Jadi selama 98 km itu, saya berkendara dengan rata-rata kecepatan 40 km/jam - artinya sudah 2 jam dan 45 menit berlalu. Tapi tiba-tiba, di 2 km terakhir, ada kemacetan juga; ada perbaikan jalan besar. Menunggulah saya di kemacetan selama 48 menit sampai akhirnya 2 km saya lewati sampai tujuan.
Jadi, pasti rata-rata kecepatan saya turun. Tapi turun seberapa banyak? Dalam 100 km itu, waktu total adalah 3 jam dan 33 menit. Artinya, rata-rata kecepatan menjadi 28 km/jam.
Jadi kita lihat, walaupun dengan kemacetan yang sama, yaitu 2 km dalam 48 menit, perubahan rata-rata lebih dratis saat baru 8 km saya lampaui, yaitu dari 40km/jam menjadi 10 km/jam. Bandingkan dengan saat 98 km sudah dilampau, dimana rata-rata saya 40 km/jam menjadi 28 km/jam.
Artinya, memang hasil rata-rata itu lebih mudah berubah saat masukan data masih awal. Saat data masuk sudah makin banyak, maka makin sulitlah hasil rata-rata itu berubah.
Quick Count
Jadi misalkan di skenario Quick Count (QC) diatas. Kita berandai (hanya ilustrasi saja) ada 1000 data suara di QC yang dilaporkan. Pada saat 10% data tersebut dilaporkan (100 suara), 51% suara ada untuk Prabowo, dan 49% suara ada untuk Jokowi. Lalu setelah 4% tambahan data dilaporkan (menjadi 140 suara), berubah menjadi 49% suara untuk Prabowo dan 51% suara untuk Jokowi.
Apakah bisa 40 suara tambahan mengubah kedudukan? Kalau masih dalam batas kewajaran bisa saja. 49% dari 140 suara adalah 69 suara dan 51% dari 140 suara adalah 71 suara. Artinya, dalam tambahan 40 data tersebut, Prabowo mendapatkan 69-51 = 18 suara dan Jokowi mendapatkan 22 suara. 18 banding 22 adalah 45% banding 55%.
45% dan 55% adalah angka lumrah yang sering ditemukan dalam laporan propinsi-propinsi. Bisa saja tambahan data 4% tersebut adalah dari lumbung suara Jokowi, di Jawa Tengah atau Jawa Timur misalnya. Bahkan di Jawa Barat, sebaran angka adalah 60% untuk Prabowo dan 40% untuk Jokowi (menurut 7 survei kredibel, tentunya).
Jadi tidak ada yang aneh sama sekali kalau ada perubahan hasil QC yang lumayan drastis di awal-awal pengumpulan data. Yang aneh adalah kalau perubahan hasil QC drastis terjadi saat pengumpulan data akhir.