Mohon tunggu...
Awaludin, SKM, M. Kes (Epid) Abdussalam
Awaludin, SKM, M. Kes (Epid) Abdussalam Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Epidemiologis. Sanitarian. "Mediocre".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keluarga (Miskin) Investasi Bangsa?

19 Juni 2011   05:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:23 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah anda membaca buku “Orang Miskin Dilarang Sakit”, yang ditulis Eko Prasetyo (2004)? Anggapan miring terhadap pelayanan kesehatan untuk orang miskin sangat kental diulas dalam buku tersebut. Masalahnya, orang miskin (baca: keluarga miskin), yang dekat dengan berbagai derita penyakit, apakah juga merupakan investasi bangsa, selayaknya keluarga sehat?

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 4 menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak atas kesehatan”. Artinya keluarga miskin pun berhak atas layanan kesehatan yang memadai, walaupun secara mandiri sulit mengaksesnya, karena keterbatasan ekonomi. Sehingga pemerintah seharusnya mengambilalih peran yang lebih besar menyangkut hak asasi ini. Di dalam undang-undang tersebut, pada pasal 3, juga disebutkan bahwa “Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis”.

Menjadi miskin sekaligus sakit identik dengan ketidakmampuan melakukan usaha yang produktif (unproductiveness). Populasi yang menderita suatu penyakit di suatu daerah akan menimbulkan kerugian ekonomi (economic loss), yang tentu saja akan menjadi beban anggaran untuk pembiayaan kesehatan. Penyakit kronis, misalnya seperti tuberkulosis maupun kusta dengan kecacatan akan menurunkan produktifitas yang tinggi bagi penderitanya. Hal ini dimungkinkan karena waktu pengobatan yang lama, bahkan ada kesempatan untuk kambuh kembali.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dari hasil Sensus Penduduk 2010, menunjukkan bahwa angka kemiskinan penduduk Indonesia sebesar 13,3% atau berkisar 31,02 juta jiwa. Populasi warga miskin ini perlu dipenuhi hak-haknya akan kesehatan. Sebenarnya pemerintah telah bekerja keras dengan memberikan subsidi melalui jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) dengan mematok sasaran masyarakat miskin sebesar lebih dari dua kali lipat dari data BPS menjadi 76,4 juta jiwa.

Namun, sebagian besar anggaran jamkesmas dihabiskan untuk upaya pengobatan (kuratif) yaitu menyembuhkan orang sakit agar tidak terjadi kematian. Sedangkan upaya promosi (promotif) dan pencegahan (preventif), dengan memerhatikan orang yang sehat (baca: keluarga sehat) agar tidak menjadi sakit, belum menemukan bentuk yang ideal.

Sebagai misal, apabila terjadi kasus diare, penanganan dengan pengobatan belum tentu akan menyelesaikan masalah kalau masyarakat masih membuang tinja di sembarang tempat, belum membiasakan diri mencuci tangan pakai sabun sehabis buang air besar maupun setiap akan menjamah makanan, minum air yang belum direbus, atau pengelolaan sampah yang buruk. Kasus penyakit akan kembali berulang tanpa henti.

Penyakit hanyalah sebuah“produk akibat” yang berada jauh di “hilir”. Saat ini sebagian upaya pelayanan kesehatan berada pada tahap ini. Sementara faktor-faktor risiko penyakit sebagai “produk penyebab” yang berada jauh di “hulu”, dan bukan hanya merupakan tanggung jawab sektor kesehatan saja, belum tersentuh dengan baik.

Celakanya, inovasi atau terobosan upaya-upaya promotif dan preventif, seperti misalnya, program sanitasi dan PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat) atau program-progran yang lain, belum tampak menggembirakan hasilnya. Keluarga sehat sebagai investasi bangsa, boleh jadi akan menjadi beban negara, jika tanpa upaya mempertahankannya. Berapa banyak sudah, karena ketidaktahuan, keluarga sehat akhirnya mengidap HIV (Human Immunodeficiency Virus) atau penyakit lainnya.

Di sisi lain, komposisi ketenagaan di puskesmas pun turut memberikan kontribusi ketimpangan pelayanan kesehatan. Dominasi tenaga kesehatan di puskesmas lebih berorientasi pada pelayanan “kuratif”. Bahkan di setiap desa hampir ditemukan dua atau tiga orang, bahkan lebih! Tetapi masih saja pencapaian target Millennium Development Goals (MDGs) di sektor kesehatan dirasakan lamban. Sebagai investasi bangsa, keluarga miskin harus ditingkatkan derajat kesehatannya menjadi keluarga sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun