Setelah reformasi, rakyat kehilangan pemerintahan yang berwibawa. Negara dan pemerintahan memang masih ada, tetapi sekaligus juga tidak ada karena tidak hadir dalam kehidupan rakyat.
Secarik pemikiran dari seoarang esais Jakob Sumardjo diatas, menggugat keberadaan Negara dan perangkatnya yang tak berfungsi disaat rakyat membutuhkan.
Sakit terasa, sebagai warga negara yang hidup ditanah NKRI. Menjunjung tinggi demokrasi dan HAM, yang sepatutnya diperoleh. Tak seindah pidato yang sering kali di ungkapkan panjang lebar oleh pemimpin bahkan para wakil-wakil rakyat.
Apalagi berbicara masalah kesejahteraan rakyat, yang masih jauh dari awang-awang batas normal. Lihat saja kemiskinan penduduk di negeri ini, jika merujuk pada Badan Pusat Statistik(BPS) 2010 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 31,02 juta jiwa.
Itu hanya bagian kecil data yang terungkap dilapangan, dan bagaimana dengan data tak terungkap. Kemungkinan lebih besar dari itu .
Menyaksikan ironi diatas, sebuah problematika di tengah kemiskinan yang masih melanda pertiwi ini. Bahkan pemerintah seakan tutup mata menerima realitas tersebut.
Ihwal tersebut tercermin, dari keputusan DPR dalam pembangunan Gedung Baru. Belum lagi pernyataannya di media bahwasanya, gedung atau sebut saja rumah wakil rakyat di bangun untuk kenyamanan para wakil rakyat sesuai dengan tugas yang diemban. Karena melihat, gedung DPR saaat ini begitu sempit, bahkan sulit untuk melakukan aktifitas dan kinerja DPR secara maksimal.
Dan narsisnya lagi, modal yang di cairkan pun tak tangung-tanggung. Ya, I,6 triliun. Fantastis. Bukan angka yang kecil. Angka yang sekiranya mampu dan bisa membenahi infrastuktur pembangunan yang dialihkan ke sektor lain,.
Seperti pasar, jalan raya, pendidikan dan sektor lainnya untuk kepentingan rakyat. Tentunya lebih berarti, jika ketimbang untuk membangun rumah wakil rakyat yang tak direstui sendiri oleh rakyatnya.
Bukan sampai disana saja, gedung yang tak lama dibangun itu rencananya dilengkapi ruang khusus untuk rekreasi dan ada juga yang menyatakan digunakan untuk Restaurant, hiburan, spa, dan kolam renang. Wah, semakin komplit saja fasilitas yang dimiliki oleh rumah wakil rakyat tercinta kita.
Padahal di dilapangan semua mengcuhkan niat para wakil rakyat. Sepatutnya para jajaran DPR bisa bercermin, dikaca bersih dan lebar. Memahami status, yang diraih berasal dari suara-suara rakyat “terlantar” yang dipaksa untuk mengatas namakan demokrasi. Defisit kredibilitas lembaga perwakilan rakyat sudah sampai kepada titik yang nyaris absolut sehingga tidak mudah untuk dipulihkan.
Wakil Rakyat Palsu
Apa yang menjadi harapan rakyat, tak semestinya dicukur oleh kepentingan elite politik yang bersemayan sebagai wakil rakyat. Antara kepentingan politik dan pribadi begitu kental terangkum, dibandingkan harus berjuang untuk kepentinagan rakyat. Mungkin lebih penting hal pertama.
Distrust atau ketidak percayaan masyatakat terhadapa wakil rakyat, ibaratkan telur di ujung tandung. Dan nyarisnya , kebohongan demi kebohongan tercipata secara sistematis, atas nama suara rakyat dan kesejahteraan.
Namun, itu pun hanya sekadar umpan politik, demi melanggengkan kedudukan. Kepalsuan sebagai wakil rakyat, menjadi preseden buruk di mata rakyat. Wakil rakyat hanya dipandag sebagi ‘lintah darat’ yang begitu menyakitkan.
Bagaimana tidak, dalam pembanguna Gedung DPR yang menelan dana, triliunan rupiah, tidak ada suara rakyat yang bergema, kecuali wakil rakyat. Rakyat tidak di libatkan dalam memperdebatkan pembangunan gedung DPR karena pembangunan gedung DPR adalah urusan orang-orang pintar seperti mereka.
Meskipun kritik masyarakat keras dan tajam, namun hal tersebut seakan lenyap ditelan oleh gelombang nafsu kekuasaan yang nikmat dan memabukkan.
Menggugat Presiden
Pernyataan presiden yang menghimbau agar rencana pembangunan gedung pemerintah yang belum perlu dan dianggap tidak penting sebaiknya ditunda atau bahkan dibatalkan, hanyalah di nilai sebuah pencitraan saja.
Pada akhirnya gugatan hukum datang untuk sang pemimpin negeri ini, selain Ketua DPR, Ketua BURT DPR, Menteri Keuangan, dan para ketua fraksi di DPR.
Para tergugat dinilai melakukan kerugian terhadap hak-hak publik karena tergugat lebih memprioritaskan alokasi anggaran untuk pembangunan gedung DPR daripada mengalokasikan anggaran untuk kesejahteraan masyarakat miskin. Meski publik sudah membayar pajak, tetap saja pemerintah mengabaikan aspirasi publik untuk menghentikan pembangunan gedung itu.
Parahnya lagi, pemerintah seakan tutup muka, mata dan telinga atas desahan rakyat, yang tidak menginginkan rumah wakil rakyat di bangun. Menjadi sebuah lelucon amat memalukan.
Bagimana bisa, rakyat tak menghendaki rumah baru untuk para wakil rakyat, namun wakil rakyat yang sibuk ngurusi. Dan lucunya lagi, modal yang di gunakan pun uang Rakyat!*
Foto: matanews.com
Tulisan ini telah dimuat di:kotakinformasi.wordpress.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI