Jadi benar donk bahwa tuhan telah berhenti bekerja dan menyerahkan semua urusan kepada manusia? Tentu saja tidak! Saya juga tidak setuju dengan faham Qadariah dan muktazilah itu. Ingat kembali bahwa selain sebagai penulis skenario, tuhan juga berperan sebagai sutradara. Dia senantiasa memantau dan mengawasi setiap detil jalan cerita kehidupan yang telah ditulisnya dalam skenario Lauh al-Mahfudz.
Peran tuhan sebagai sutradara jelas tampak dalam "murka dan kasih"-Nya terhadap para pelakon sandiwara dunia. Sebagai sutrada, di satu sisi Dia berhak memarahi dan menghukum pelakon yang tidak mengikuti kehendak-Nya, dan di sisi lain Dia juga memberikan reward bagi pelakon yang mampu mengambil hatinya. Bahkan, sebagai produser, tuhan juga bisa mengubah sebagian ataupun semua jalan cerita kehidupan yang telah ditulis-Nya.
Kok sepertinya ujung-ujung statemen ini seolah-olah kembali meniadakan "kebebasan manusia" ya?
Tidak begitu. Justru saya ingin menegaskan bahwa dalam alur cerita sandiwara kehidupan ini, sebenarnya manusia sebagai pelakon dituntut untuk senantiasa mampu berIMPROVISASI. Menumbuhkan-kembangkan daya aktif, inisiatif, kreatif dan inovatifnya untuk menampilkan sebuah permainan yang cantik. Manusia mesti mengasah daya cipta,daya khayal dan keterampilan bermainnya melalui "pengalaman dan kisah kehidupan pemain lain".
Kenapa demikian?
Karena skenario dalam Lauh al-Mahfudz yang sangat kompleks dan detil itu justru menjadi rahasia tuhan. Dia hanya memberikan sedikit bocoran :
وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلرُّوحِ ۖ قُلِ ٱلرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّى وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًۭا
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: Roh itu termasuk urusan Rabb-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. (Al-Isra [17:86])
Lauh al-Mahfudz itu berada dalam ranah alam roh, sebab ia merupakan sesuatu yang azali, telah ada 50.000 tahun sebelum segala sesuatunya diciptakan. Oleh karena itu, cerita jalan kehidupan menjadi sebuah skenario yang tampaknya hanya ditulis global. Rincian prilaku, adegan, dialog dll sepertinya diserahkan kepada kemampuan para pemain, meski sebenarnya apapun itu telah ada dalam skenario Lauh al-Mahfudz.
Karena sifat skenario Lauh al-Mahfudz yang demikian, Sang Produser telah memberikan modal dasar bagi para pemain, yakni akal yang dipandu-Nya dengan naskah berita-berita kehidupan (wahyu). Selama para pemain tetap berpegang kepada kedua pedoman ini, ia akan mampu bermain apik dan menarik meski tak pernah tahu naskah skenario yang sebenarnya.
Sebuah ilustrasi lain, mungkin dapat menggambarkan bagaimana kebebasan manusia itu sangat luas, meski tetap berada dalam batasan tali kekang Tuhan.
Umapanya seekor kambing/domba yang diikatkan pada sebuah tiang dengan tali sepanjang 5 meter. Betapapun hijaunya rumput yang berada diluar radius tali itu, bukanlah ranah kebebasan kambing. Ia tidak akan mampu menjangkaunya, karena panjang talinya hanya sebegitu. Tetapi untuk runmput yang berada dalam radius 360 derjat sepanjang tali, si kemabing punya pilihan. Ia bisa makan atau tidak.
Dalam ilustrasi ini, yang menjadi masalah adalah si kambing tidak tahu persis "berapa panjang talinya". Ini sama dengan pemain drama yang tidak tahu persis naskah skenario yang harus ia mainkan. Maka, sepanjang aku tidak tahu panjang tali takdirku, atau selama aku tidak tahu pasti yang mana takdir "paksaan" di antara baris-baris takdirku, aku ingin dan tetap berusaha untuk memilih yang terbaik dengan tetap meyakini bahwa "rencana tuhan pasti lebih baik"