Mohon tunggu...
Awink Abi
Awink Abi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Cuma pria biasa yang suka browsing dan corat-coret di blog, salah satunya : http://alqolamu.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kupilih yang Terbaik di Antara Takdir-takdirku

11 Desember 2014   04:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:33 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lho? emang takdir bisa dipilih?
Emang takdir itu banyak?
Bukankah takdir telah ditetapkan sebelum kita ada di dunia?
Jawaban dari pertanyaan ini hanya satu, yaitu : "YA". Ya, takdir itu bisa dipilih, takdir itu banyak dan takdir itu memang telah ditetapkan sebelum makhluk diciptakan. Berikut Ilustrasinya :

Ketika seseorang berdiri di atas sebuah tower yang tingginya mencapai 20 meter, apa yang mungkin terjadi setelah itu?


  1. Ia akan melompat dan mati.
  2. Ia melompat namun tidak mati, melainkan cuma mengalami patah tulang,
  3. Ia melompat namun berhasil disambut oleh warga dengan alat yang aman, sehingga tidak mengalami cedera apapun.
  4. atau ia tidak jadi melompat dan turun dengan aman sebagaimana dia memanjat tower itu sebelumnya


Dalam kasus pertama, orang tersebut mungkin hanya punya satu takdir saat di atas tower. Sehingga apa pun yang dilakukan baik oleh dirinya maupun oleh orang lain tetap berakhir dengan kematian. Jadi mati adalah takdirnya sesaat setelah ia memanjat tower.

Pada kasus kedua, mungkin orang itu punya dua takdir, yakni "melompat lalu mati", dan "melompat tapi tidak sampai mati karena ada faktor lain yang juga menjadi takdirnya". Misalnya, saat jatuh ia sempat meraih sesuatu yang mengurangi  grafitasi dan ia mungkin memiliki kekuatan fisik di atas rata-rata dll. Atau seperti dalam kasus ketiga dimana takdirnya ikut melibatkan takdir pihak lain, yakni orang-rang yang menyelamatkannya.

Dilihat dari titik awal kejadian, ketiga kasus ini hanya punya satu takdir, yakni jadi melompat meskipun hasil akhirnya tidak sama. Coba bandingkan dengan kasus ke empat. Selain takdir "melompat", orang ini juga punya takdir lain yang bisa ia PILIH, yakni tidak jadi melompat, sehingga "tetap hidup" adalah takdirnya.

Jika benar demikian, lalu dimana letaknya "Kuasa Tuhan"?

Justru keempat garis takdir dalam ilustrasi diatas merupakan bentuk kuasa Tuhan yang telah ditetapkan-Nya dalam qadha dan qadar sebelum makhluk diciptakan.

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا

Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) (Al-Furqaan / QS. 25:2)

Anda bingung? atau justru tambah bingung? hehe... santai bro.. minum dulu tuh kopi, ntar keburu dingin... :)
Sudah? mari kita lanjutkan..

Menurut.. analisa saya.. (Diucapkan seperti dalam acara TV "Sentilan-Sentilun) kebingungan anda mungkin dipengaruhi oleh sebuah konsep yang sangat keliru bahwa manusia hanyalah boneka/Wayang yang 100% bergantung kepada kehendak dalang, sebagaimana faham yang dianut oleh kaum Jabbariyah di Era Perdebatan ahli kalam (theologi). Akibatnya tentu saja dalam pikiran anda tertanam keyakinan bahwa manusia 'boneka' tidak punya pilihan apapun selain yang dipilihkan tuhan untuknya.

Alih-alih mengasosiasikan manusia sebagai wayang, mungkin lebih baik menggambarkannya sebagai pemain peran (aktor/artis) yang mesti menjalani skenario dalam panggung sandiwara dunia. Di sini, tuhan mesti diposisikan sebagai 'pejabat rangkap' tiga posisi penting, yakni PENULIS SKENARIO, SUTRADARA sekaligus PRODUSER.
Sebagai penulis skenario, tuhan telah menuliskan semua jalan cerita kehidupan secara sangat detil tanpa ada yang luput sama sekali. Saking detilnya, untuk setiap satu 'gerak' dan atau 'diam' dalam satu satuan waktu terkecil, selalu ada satu atau banyak baris naskah yang telah digariskan. Sehingga apapun yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemain (gerak atau diam) pasti ada dan telah termuat dalam naskah itu. Mungkin inilah yang dalam term al-Quran digambarkan sebagai Lauh al-Mahfudz :

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِى ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِى كِتَٰبٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌۭ

"Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah." – (QS.22:70)

Melalui perspektif ini tentu saja dapat dikatakan bahwa "tak satupun yang bisa keluar dari takdir, atau tak seorangpun yang bisa melawan takdir". Karena apapun yang dia lakukan atau tidak lakukan sebenarnya itu adalah takdirnya. Bahkan seperti berita baru-baru ini bahwa Google membangun sebuah proyek yang berupaya "menandingi" tuhan dalam menunda kematian, tetap saja itu adalah takdirnya. Berhasil ataupun gagalnya proyek itu nanti, itu juga takdirnya.

Jadi benar donk bahwa tuhan telah berhenti bekerja dan menyerahkan semua urusan kepada manusia? Tentu saja tidak! Saya juga tidak setuju dengan faham Qadariah dan muktazilah itu. Ingat kembali bahwa selain sebagai penulis skenario, tuhan juga berperan sebagai sutradara. Dia senantiasa memantau dan mengawasi setiap detil jalan cerita kehidupan yang telah ditulisnya dalam skenario Lauh al-Mahfudz.

Peran tuhan sebagai sutradara jelas tampak dalam "murka dan kasih"-Nya terhadap para pelakon sandiwara dunia. Sebagai sutrada, di satu sisi Dia berhak memarahi dan menghukum pelakon yang tidak mengikuti kehendak-Nya, dan di sisi lain Dia juga memberikan reward bagi pelakon yang mampu mengambil hatinya. Bahkan, sebagai produser, tuhan juga bisa mengubah sebagian ataupun semua jalan cerita kehidupan yang telah ditulis-Nya.

Kok sepertinya ujung-ujung statemen ini seolah-olah kembali meniadakan "kebebasan manusia" ya?

Tidak begitu. Justru saya ingin menegaskan bahwa dalam alur cerita sandiwara kehidupan ini, sebenarnya manusia sebagai pelakon dituntut untuk senantiasa mampu berIMPROVISASI. Menumbuhkan-kembangkan daya aktif, inisiatif, kreatif dan inovatifnya untuk menampilkan sebuah permainan yang cantik. Manusia mesti mengasah daya cipta,daya khayal dan keterampilan bermainnya melalui "pengalaman dan kisah kehidupan pemain lain".

Kenapa demikian?

Karena skenario dalam Lauh al-Mahfudz yang sangat kompleks dan detil itu justru menjadi rahasia tuhan. Dia hanya memberikan sedikit bocoran :

وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلرُّوحِ ۖ قُلِ ٱلرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّى وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًۭا

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: Roh itu termasuk urusan Rabb-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. (Al-Isra [17:86])

Lauh al-Mahfudz itu berada dalam ranah alam roh, sebab ia merupakan sesuatu yang azali, telah ada 50.000 tahun sebelum segala sesuatunya diciptakan. Oleh karena itu, cerita jalan kehidupan menjadi sebuah skenario yang tampaknya hanya ditulis global. Rincian prilaku, adegan, dialog dll sepertinya diserahkan kepada kemampuan para pemain, meski sebenarnya apapun itu telah ada dalam skenario Lauh al-Mahfudz.

Karena sifat skenario Lauh al-Mahfudz yang demikian, Sang Produser telah memberikan modal dasar bagi para pemain, yakni akal yang dipandu-Nya dengan naskah berita-berita kehidupan (wahyu). Selama para pemain tetap berpegang kepada kedua pedoman ini, ia akan mampu bermain apik dan menarik meski tak pernah tahu naskah skenario yang sebenarnya.

Sebuah ilustrasi lain, mungkin dapat menggambarkan bagaimana kebebasan manusia itu sangat luas, meski tetap berada dalam batasan tali kekang Tuhan.

Umapanya seekor kambing/domba yang diikatkan pada sebuah tiang dengan tali sepanjang 5 meter. Betapapun hijaunya rumput yang berada diluar radius tali itu, bukanlah ranah kebebasan kambing. Ia tidak akan mampu menjangkaunya, karena panjang talinya hanya sebegitu. Tetapi untuk runmput yang berada dalam radius 360 derjat sepanjang tali, si kemabing punya pilihan. Ia bisa makan atau tidak.

Dalam ilustrasi ini, yang menjadi masalah adalah si kambing tidak tahu persis "berapa panjang talinya". Ini sama dengan pemain drama yang tidak tahu persis naskah skenario yang harus ia mainkan. Maka, sepanjang aku tidak tahu panjang tali takdirku, atau selama aku tidak tahu pasti yang mana takdir "paksaan" di antara baris-baris takdirku, aku ingin dan tetap berusaha untuk memilih yang terbaik dengan tetap meyakini bahwa "rencana tuhan pasti lebih baik"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun