Mohon tunggu...
Ahmad Wildan
Ahmad Wildan Mohon Tunggu... Administrasi - Arsitektur

Belajar menulis daripada banyak omong...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kopi Malam Minggu Ayah

20 Februari 2014   02:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:39 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbekal rasa penasaran yang begitu besar kuhampiri Ayah yang sedang dibuk dengan mesin mobilnya. “Ayah, Karin mau tanya?”, “hmm, apa Rin” jawab Ayah singkat tanpa berpaling dari mobilnya, “itu soal semalam…” jawabku ragu, “Ivan? dia cukup baik dan sopan, sejauh ini Ayah dan Ibu suka padanya”, “ih bukan Ayah, bukan itu yang mau Karin tanya” gerutuku agak kesal, Ayah menghentikan kesibukannya dan mulai memberikan perhatian penuh padaku.

“Karin mau tanya kenapa kopi yang dibuat Karin semalam bisa Ayah habiskan, racikan kopi Karin sudah bisa diterima oleh lidah Ayah atau hanya karena ada Ivan sehingga Ayah enggan berkomentar?”, mendengar pertanyaanku yang panjang Ayah tertawa keras sekali, aku pun bingung dibuatnya.

“Kamu mau tahu jawabannya? coba buatkan Ayah kopi sekarang, nanti Ayah beritahu” pinta Ayah, segera ku menuju dapur untuk membuatkan syarat yang diminta Ayah.

“Tahukah kamu kenapa Ayah begitu ketagihan dengan kopi buatan Ibumu? tanya Ayah, “enggak” jawabku singkat, ayah mulai bercerita bagaimana beliau ketika berpacaran dengan Ibu, beliau menyebutkan tempat-tempat favorit mereka, kemudian berlanjut cerita pernikahan hingga bagaimana kelakuanku ketika kecil.

Tidak ada sedikitpun di cerita beliau yang menceritakan tentang kopi, rasa penasaranku terlupkan karena aku terlanjur terbawa dalam suasana akrab yang sebelumnya tidak pernah kurasakan bersama Ayah sebelumnya. HIngga akhirnya pembicaraan harus terhenti karena ketika Ayah akan minum kopinya telah habis.

“Yaah, kopi Ayah habis, sudah ah ceritanya” ujar Ayah sambil memandangi gelas kopinya yang tinggal ampas. Seakan tak percaya kopi buatan ku habis diminum Ayah tanpa komentar pedas dari beliau, aku tersenyum senang.

“Jadi bukan pada kopinya anakku, jika minum kopi biasa Ayah bisa di coffeshop, atau Ayah buat sendiri, tapi bukan itu yang membuat kopi menjadi enak” ujar Ayah, “jadi tetap harus orang tertentu?”, “tidak juga, buktinya kopi buatanmu kali ini enak, sama seperti buatan Ibumu”, “ah Ayah bisa saja”, “jika kamu mau membuatkan Ayah kopi, tetaplah bersama Ayah walaupun sejenak, kamu bukan waiter di caffe kan? setelah membuatkan kopi pesanan kamu bisa langsung pergi, coba perhatikan Ibumu, setiap kali membuatkan kopi untuk Ayah beliau tidak akan langsung beranjak pergi, jika itu pun terpaksa terjadi kopi buatan Ibumu akan terasa hambar bagi ayah” Ujar ayah berlalu masuk rumah sembari menenteng gelas kosongnya.

Mendengarkan jawaban Ayah hatiku begitu senang, bahkan Ibu ku pun tak tahu pasti jawaban mengenai kegilaan Ayah pada kopi buatan Ibu. Nampaknya Ibu akan segera memiliki barista pesaing lainnya di rumah ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun