Energi Panas Bumi merupakan energi panas yang bersumber dari dalam Bumi melalui media fluida dan dapat diekstrasi secara ekonomis serta dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik ataupun secara langsung. Indonesia yang secara geologi terletak dipertemuan antar lempeng benua dan samudera menyimpan potensi panas bumi yang luar biasa besar.
Telah dilakukan usaha pencarian sumber panas bumi di Indonesia sejak tahun 1918 di daerah Kawah Kamojang, namun yang melakukan usaha tersebut adalah pemerintah Kolonial Belanda saat itu. Kemudian pada tahun 1926 hingga 1929 telah dilakukan pengeboran lima sumur eksplorasi. Kemudian usaha pemerintah kolonial ini terhenti akibat pecahnya perah dunia dan perang kemerdekaan Indonesia pada saat itu.
Kegiatan eksplorasi panas bumi kemudian benar-benar dilakukan kembali pada tahun 1972 oleh Pemerintah Indonesia. Eksplorasi ini berada di bawah Direktorat Eksplorasi dan Pertamina dengan bantuan Pemerintah Perancis dan New Zealand untuk melakukan survey di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan survey tersebut, diketahui Indonesia memiliki 217 prospek panas bumi, yakni berada disepanjang jalur vulkanik mulai dari bagian barat Sumatera, melalui Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan membelok ke Maluku serta Sulawesi.
Kemudian dilakukan survey kembali dan didapatkan hasil yakni 256 prospek. Hasil prospeksi tersebut mencapai angka potensi sebesar 28,910 GW atau sebesar 40% potensi panas bumi dunia.
Panas Bumi ini telah diatur secara resmi dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2014 yang merupakan hasil revisi dari Undang-undang Nomor 27 Tahun 2003. Revisi dilakukan menimbang dari UU Nomor 27 Tahun 2003 belum mengatur mengenai pemanfaatan Panas Bumi secara komprehensif dan penyebutan panas bumi sebagai suatu aktifitas pertambangan.
Hal tersebut mengimplikasikan bahwa hal ini dilarang untuk dilaksanakan di wilayah hutan lindung dan area konservasi (Undang-undang No. 41 Tahun 1999) walaupun pada kenyataannya aktivitas panas bumi hanya memberikan dampak kecil pada lingkungan dibandingkan dengan aktivitas pertambangan. Cadangan panas bumi di Indonesia tersimpang 80% pada hutan lindung dan area korservasi oleh karena itu mustahil untuk memanfaatkan potensi ini berdasarkan UU No. 27 Tahun 2003 tersebut.
Pada tahun 2014 kemudian mulainya terdengar kabar gembira yakni pada Agustus 2014 disahkannya UU No. 21 Tahun 2014 yang memisahkan panas bumi dari aktivitas pertambangan yang lain sehingga dapat membuka jalan untuk eksplorasi panas bumi di wilayah hutan lindung dan area konservasi.
Untuk menggenjot pertumbuhan panas bumi juga, pemerintah membentuk iklim investasi lebih menarik dengan membuat Geothermal Fund Facility (GFF) yang menyediakan dukungan untuk memitigasi resiko-resiko dan menyediakan informasi mengenai biaya pengembangan awal panas bumi yang relatif tinggi. Namun masih ada pekerjaan rumah bagi pemerintah kita yakni keadaan infrastruktur yang terbatas di wilayah terkecil, perlawanan masyarakat lokal, dan birokrasi yang buruk.
Hingga saat ini kapasitas yang terpasang di Indonesia sebesar 1924,5 MW pada tahun 2018. Lambannya pertumbuhan panas bumi ini dikarenakan tiga masalah utama di atas. Meskipun termasuk lamban dalam pertumbuhan dan perkembangannya, Indonesia saat ini merupakan negera terbesar kedua didunia dalam penyediaan sumber energi panas bumi terpasang setelah Amerika Serikat.
Ada tiga bersar negera di dunia yang termasuk dalam 1 GW Country Club. Masuk ke dalam predikat tersebut alangkah baiknya bukan untuk berbangga diri bagi bangsa ini, hal ini dikarenakan masih sedikitnya proporsi energi panas bumi di negeri ini yakni sebesar 5%. Indonesia masih kalah dengan negera-negara dalam segi proporsi panas bumi yang terpasang mengingat bahwa Indonesia memiliki potensi panas bumi 40% cadangan dunia.
Indonesia memiliki komitmen untuk mengurangi dampak perubahan iklim dalam UN Climate Change Conference di Paris 2015 dengan salah satu caranya yakni meningkatkan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 25% pada tahun 2025. Untuk mencapai hal ini pemerintah optimis dapat dilaksanakan dengan 29% skema BAU dan 41% dari bantuan internasional.