Mohon tunggu...
antok widiyatno
antok widiyatno Mohon Tunggu... - -

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Untuk Apa Kode Etik dan Perilaku Aparat

16 November 2015   16:48 Diperbarui: 16 November 2015   18:56 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kode etik dan kode perilaku Aparatur Sipil Negara yang dibangun pada Undang Undang ASN Nomor 5 Tahun 2014 dikandung maksud agar para aparatur melaksanakan tugasnya dengan jujur, bertanggung jawab dan berintegritas tinggi, cermat dan disiplin, melayani dengan sikap hormat, sopan dan tanpa tekanan.

Yang perlu menjadi dipertanyakan, apakah etika dan perilaku Aparatur Sipil Negara saat ini sudah dijalankan sesuai dengah amanah Undang Undang tersebut terutama ketika memberikan pelayanan publik ?. Apakah Tunjangan Kinerja yang telah diberikan selama ini memang dapat mendongkrak kinerja mereka ?. Hal ini yang perlu kita renungkan !.
Coba kita lihat. Banyak jumlah aduan soal pelayanan publik ke institusi resmi seperti Ombudsmen dan unit Kepatuhan Internal kementerian/lembaga. Dapat juga kita simak pada curhat di medsos, suara pembaca dan media lain yang mempermasalahkan kualitas pelayanan publik yang kurang/tidak maksimal.

Dalam Talkshow di TVRI (hadir pihak Ombudsmen, salah satu Deputi Menpan dan Pengamat) ada pemirsa yang marah-marah dengan berkata, ”Pak dari Ombudsmen tolong ditindak para aparat pemerintah itu (dengan menyebut salah satu nama Pemkab), semua pelayanan apa-apa diukur pakai duit bahkan lebih parah kalau menjelang atau sesudah pilkada pasti rotasi pejabat besar-besaran, apalagi kalau tidak karena duit dan nafsu ingin berkuasa !”.

Banyak yang belum tahu bahwa Komisi Ombudsmen, Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Komisi Aparatur Sipil Negara dan komisi yang serupa tidak mempunyai kewenangan untuk menindak terhadap oknum-oknum birokrat, tetapi hanya sebatas merekomendasikan agar para pimpinan instansi segera menindaklanjuti aduan dugaan penyimpangan dari masyarakat. Satu hikmah, itulah ekspektasi yang tinggi dari masyarakat agar birokrasi bersih.

Adapun bentuk-bentuk penyimpangan birokrasi adalah sebagai berikut:

1. Menunda-nunda atau mempersulit layanan

Tidak tepat waktu ketika masuk dan pulang kerja, masuk pulang kerja tepat waktu -ditandai dengan mengisi Daftar Hadir dan Daftar Pulang Kerja- tetapi tidak berada atau sering tidak ada di tempat, berada di tempat tugas/kerja tetapi tidak fokus melayani adalah benih-benih awal dari menunda-nunda atau mempersulit layanan.

Tidak tepat waktu masuk dan pulang jam kerja karakteristiknya pun berbeda-beda. Kalau tidak tepat masuk dan tidak tepat pulang kerja dengan alasan yang masuk akal dan telah dikomunikasikan tentu masih dapat diterima sehingga jelas keberadaannya. Dengan kondisi ini rekan kerja yang lain dapat membantu untuk mem-backup.

Tidak kalah merepotkan pengguna layanan dan juga rekan kerja yang lain adalah kelompok karakteristik kedua atau disebut “Batalyon 705 atau Batalyon 704”. Mereka ada pada daftar hadir tetapi selama atau sebagian besar pada jam kerja hilang atau tidak ada di tempat. Tetapi aneh bin ajaib saat pulang kerja tepat waktu bahkan ada yang belakangan membubuhkan tanda tangan pada daftar hadir atau terakhir menempelkan ibu jari di mesin kehadiran, supaya dikira pulang kerja terakhir. Kelompok yang ketiga adalah menunda-nunda menyelesaikan pekerjaan degan tidak memanfaatkan jam kerja secara maksimal, justru dilaksanakan di luar jam kerja.

Menunda-nunda atau mempersulit layanan juga dapat disebabkan oleh peraturan itu sendiri yang berujung pada prosedur kerja yang tidak efisien untuk menunjang layanan langsung kepada masyarakat. Banyak meja yang harus dilalui sehingga banyak tangan yang harus mengambil keputusan, juga persyaratan layanan yang kadang-kadang tidak ada relevansi atau korelasi dengan layanan yang akan diberikan. Ini sangat potensial untuk dijadikan celah aparatur negara dalam melaksanakan tugasnya.

2. Mengarahkan tindakan bermotif gratifikasi

Ini level kedua dan sudah jelas sebagai bentuk moral hasrat. Sebagian Aparatur Negara merasa di atas angin dan merasa dibutuhkan sehingga menggunakan posisinya untuk mencari keuntungan sesaat. Sebenarnya tindakan itu bukan mencari keuntungan, tetapi menggali kebuntungan diri sendiri bahkan keluarganya.

Mereka belum menyadari bahwa mereka berada di situ dan melaksanakan tugas telah digaji oleh Negara sehingga sudah wajar dan wajib melaksanakan tugasnya. Kalau masih ada yang beralasan bergaji kecil, jawabannya simple, ”Siapa suruh jadi pegawai negeri !”. Ada survey yang mengatakan bahwa gaji tinggi tidak berkorelasi dengan perilaku korup dan tindakan menyimpang lainnya dari aparat itu. Semakin tinggi gaji maka orientasi juga lain sehingga gaji berapun akan selalu mesara kurang.

Semua kementerian dan lembaga telah mendapat Tunjangan Kinerja. Tetapi coba diingat kembali yang dikatakan Kadis Pendidikan Probolingga yang menyoal Tunjangan Sertifikasi dan juga komentar Waketum PGRI beberapa waktu yang lalu, singkatnya tunjangan sertifikasi kurang berdampak signifikan terhadap kualitas mengajar para guru.

Untuk meningkatkan kinerja, para hakim diberi tunjangan fungsioanal hakim dan tambahan tunjangan wilayah tugas sesuai zona penempatannya namun masih ada yang selingkuh dan menerima suap seperti yang saat ini disidik KPK dan Kejaksaan. Demikian pula aparat penegak, masih ada yang bermain mata bahkan memperdaya padahal sejatinya wajib melindungi dan mengayomi melalui penegakan hukum seperti motto “Kami Siap Melayani” .

3. Menyalahgunakan wewenang/kekuasaan

Ini adalah level ketiga dari perilaku tidak elok. Pada level kedua yang bersangkutan masih bisa kompromi dengan pengguna layanan. Pada level ini dia sudah tidak mau kompromi. Seluruh layanan diukur dengan standar gratifikasi atau tip bahkan memeras kepada pengguna layanan telah menjadi hal yang lumrah.

Aparat seperti ini tidak lagi sungkan apalagi malu menjerumuskan pihak lain. Motif hanya satu, mencari keuntungan sendiri atau kelompok dan dilakukan serapi mungkin agar tindakannya itu tidak diketahui orang lain. Bahkan tidak jarang mereka melakukan skenario, apabila sewaktu-waktu tindakan itu terkuak maka dapat dibalik menjadi kasus penyuapan kepada petugas, atau paling tidak diri sendiri aman dengan merekayasa agar menjadi kasus pencemaran nama baik. Pihak lain dikorbankan, padahal dia sendiri yang melakukan dalam membuat skandal.

Reformasi birokrasi dan kelembagaan yang selalu didengung-dengungkan harus mempunyai makna. Kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah harus dibuang jauh dan salah satu indikator keberhasilannya adalah layanan yang semakin cepat, tepat, jelas dan terukur sehingga pengguna layanan dengan mudah dapat mengaksesnya dan informasi progress layanan tersebut juga dengan mudah dapat langsung diketahui.

Jangan sampai fenomena ini dibiarkan menggejala sehingga pepatah lama ”walaupun air di lautan habis diminum tetap merasa kehausan” atau “andaikan semua gunung dapat diubah menjadi emas, bintang di langit pun masih ingin dimiliki” disematkan pada aparat dan birokrat negeri ini. Sederhana, jika indek korupsi turun maka itu tanda bahwa aparat dan birokrat juga semakin membaik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun